Saat tim angkat besi dan tim panjat tebing berjaya, tim badminton malah merana di Olimpiade 2024. Emas yang biasanya ada di tangan kini melayang.
Tim Badminton Indonesia gagal meraih emas, seperti halnya di Olimpiade London 2012. Sedikit perbedaan, kali ini ada satu perunggu dari Gregoria sehingga tak benar-benar mengulangi catatan hampa medali seperti di London.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badminton selama ini selalu jadi tumpuan utama tiap Olimpiade datang. Karena itu pebulutangkis yang hadir di sana selalu membawa beban tambahan.
Beban yang mereka bawa bukan sekadar harapan meraih prestasi untuk diri sendiri. Ada harapan 200 juta lebih orang Indonesia yang ditumpukan pada mereka.
Kini, Tim Badminton Indonesia telah pulang dengan kegagalan meraih emas di tangan. Dengan posisi terjerembab di bawah, tentu hanya ada satu jalan yang bisa ditempuh yaitu bangkit dan berdiri.
PP PBSI punya waktu empat tahun untuk berbenah menuju Olimpiade Los Angeles 2028. Waktu yang terbilang panjang namun juga penuh dengan tantangan mengingat banyak kendala-kendala yang akan dialami oleh PP PBSI untuk bisa membentuk pemain andalan yang bisa berpotensi meraih emas di empat tahun mendatang.
PP PBSI saat ini seolah berada di persimpangan. Bila berharap pada nama-nama dan wajah utama yang ada di Tim Badminton Indonesia saat ini, banyak dari mereka yang sudah berumur 30 tahun atau lebih ketika tiba di Los Angeles 2028.
Namun bila berharap sepenuhnya pada pemain muda lewat regenerasi besar-besaran, pada titik ini, gap antara pemain junior dengan senior masih terlampau jauh.
Hal inilah yang harus jadi pekerjaan utama PP PBSI. Mereka harus bisa menyeleksi dan mengurai, mana pemain-pemain senior yang masih sanggup bersaing di level atas dan mana pemain junior yang bisa melejit dan meroket jadi andalan dalam empat tahun ke depan.
Tugas tersebut tidak mudah, namun bila PP PBSI bisa mengurai satu per satu masalah yang selama ini jadi ganjalan, rasanya masih ada jalan.
(har)