Apa yang terjadi setelah kekalahan itu? Apakah kamu langsung telepon istri?
Sebenarnya malah saya enggak ngomong sama keluarga dulu. Detik itu juga pas habis kalah dan langsung ke backstage, ke lapangan warming up, saya langsung ngomong ke Bang Aboy saat itu juga.
Saya bilang:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya nggak bisa Bang. Saya sudah benar-benar, semua sudah saya persiapkan. Pas main itu semua benar-benar sudah saya lakukan, tetapi kok kayak nggak bisa tembus. Nggak bisa."
"Karena saya sudah melakukan maksimal Bang. Tetapi kok jalannya nggak ke sana, nggak lurus. Apalagi kita sudah melakukan yang terbaik, dari apa yang kita bisa lakukan segala macam. Kayaknya habis ini saya mau stop aja."
Jadi kayak ada peperangan batin. Itu pertama kali saya ingat. Habis itu Bang Aboy juga nggak banyak bicara. Bang Aboy bilang tenangkan pikiran dulu sambil pendinginan dulu.
Habis itu dari situ benar-benar total, diam terus. Pikirannya kosong. Yang tadi seperti saya bilang, Olimpiade empat tahun sekali, semua sudah dilakukan buat ini, dan hasilnya begitu. Jadi bengong, nggak tahu mau ngapain.
Sampai akhirnya malam baru telepon istri. Kasih kabar segala macam. Saya sempat ngomong juga, kayaknya sudah deh, sudah pengin setop saja.
Berhenti, sudah capek. Kan pengin dapat medali Olimpiade kan, tetapi nggak pernah dapat, jadi ya sudah, pengin stop saja.
Saya juga sudah bilang ke Papa Mama.
Kamu pulang ke Jakarta dalam kondisi kecewa tetapi di satu sisi istri kamu sudah mendekati hari perkiraan kelahiran. Bagaimana kamu menjalani situasi itu?
Nah itu nggak tahu ya, saya malah masih berpikiran pada saat itu tetap mau berangkat ke Jepang untuk ikut Japan Open.
Jadi, nah ini balik lagi, makanya saya nggak tahu, apakah hidup saya sudah terlalu 80 persen atau 90 persen untuk bulu tangkis karena nggak bisa dipungkiri dari dulu papa ngedidik cukup disiplin, begitu juga Koh Hendry Saputra. Bahwa semuanya ya tentang badminton, semuanya itu bulu tangkis.
Kadang pelan-pelan, ketika sudah menikah saya belajar, belajar tentang menghargai waktu sama keluarga. Bukan cuma sama istri tetapi sama Mama terutama. Karena kalau sama Papa dari saya di Tangkas itu, saat saya tinggal di rumah Nenek, saya tinggal sama Papa. Sedangkan Mama tinggalnya terpisah.
Jadi waktu saya bersama Mama itu sebenarnya jarang banget. Terakhir saya bisa terus ketemu setiap hari sama Mama itu waktu umur saya sembilan tahun. Setelah itu masuk Tangkas, ketemunya cuma setiap Sabtu-Minggu, sampai sekarang.
Jadi ada beberapa pertimbangan saya, beberapa poin-poin seperti yang saya bilang, hingga akhirnya kayak ya sudah stop saja. Kayak: "Gua udah cukup deh, biar waktu gua tuh buat keluarga aja."
Sampai akhirnya pulang, ngobrol-ngobrol sama istri, balik tuh tetap balik latihan. Karena kan enggak bisa memutuskan langsung. Di Jakarta juga ngobrol sama orang tua, ngobrol sama psikolog pribadi, ngobrol sama Bang Aboy.
Kalau nggak salah, ke Jepang itu enggak selang lama dari Olimpiade, jadi cuma sekitar tiga minggu.
Karena belum ada keputusan saat itu jadi kayak ya sudah jalani saja dulu deh. Lihat nanti saja deh. Masih kayak gitu.
![]() |
Jadi walaupun kamu udah kepikiran mau pensiun dan istri mau lahiran, kamu malah masih berpikir untuk berangkat ke Jepang?
Oh iya, ya maksudnya karena kan enggak bisa total langsung bilang: "Ya sudah, gua stop".
Berhenti total. Enggak bisa sepihak saja gitu. Dari istri bilang coba pikirkan dulu, dari keluarga pun juga sama. Pokoknya semua intinya tidak mengiyakan saya untuk setop, tidak mengiyakan secara gamblang bahwa: "kamu setop saja 100 persen".
Saya kemudian berpikir ya sudah lihat nanti, coba sampai akhir tahun gimana. Kalau memang masih oke, ya sudah lanjut aja main. Kalau memang sudah benar-benar enggak bisa, ya sudah sampai akhir tahu terus setop aja. Itu masih belum ada pertimbangan untuk main profesional.
Bahkan seperti yang tadi saya bilang, karena saya dididik dari Papa sama Koh Hendry dulu sangat disiplin dan bulu tangkis itu 90 persen hidup, itu saya sudah jadwalkan kelahiran anak. Anak saya kan lahirannya sesar, jadi bisa diatur waktunya kan. Nah saya tuh sempat mikir, "Oh ya sudah nanti lahirannya pas habis aku pulang saja habis dari Jepang. 2-3 hari habis pulang."
Nah ini agak sableng juga memang Jonatan ini. Sudah kayak gitu saja masih berpikir tetap bulu tangkis kan.
Jujur saya enggak sadar, enggak sadar sampai saya tersadar satu malam sebelum besoknya saya berangkat ke Jepang. Istri saya nangis. Dia minta tolong jangan berangkat. Tolong, dia minta tolong jangan berangkat karena kurang lebih tinggal semingguan lagi waktu melahirkan.
Dia minta ditemani semua segala macam. Ya mungkin dia juga merasa bahwa beberapa bulan belakangan kan dia sudah mengalah untuk saya agar fokus di Olimpiade. Sampai akhirnya malam itu dia nangis.
Saya lagi tidur, dia menangis. Jam berapa ya? Sekitar Subuh kalau enggak salah. Ya sudah saya putuskan saya enggak berangkat.
Paginya, seharusnya berangkat ke Jepang itu Sabtu malam. Sabtu paginya, saya langsung ke Pelatnas. Saya bilang ke Bang Aboy,"Bang, izin saya enggak bisa berangkat."
Untungnya Bang Aboy waktu itu mengerti, paham kondisi saya. Akhirnya saya enggak berangkat ke Jepang.
Dari situ, pelan-pelan saya mulai kepikiran. Kalau kayak gini terus, saya juga enggak bisa. Enggak bisa punya waktu sama keluarga saya.
Sebenarnya yang saya pengin itu simpel. Jonatan yang tadinya hidupnya 90 persen untuk bulu tangkis dan 10 persen itu dibagi-bagi ke keluarga dan dirinya sendiri, kali ini saya pengin bulu tangkis tetap jadi prioritas utama, tapi persentasenya itu berkurang. Mungkin 60 persen atau bahkan 50 persen.
Karena saya mikir, bertambahnya usia itu saya mikir: "Bulu tangkis tuh main berapa lama lagi sih Jo?"
Katakanlah kalau masih punya api, punya semangat, punya motivasi, punya tujuan. Kita ambil paling pendek, empat tahun deh sampai Olimpiade berikutnya. Tapi setelah Olimpiade, next-nya apa?
Pada ujungnya, semuanya juga dilupakan.
Bulu tangkis, misal legenda bulu tangkis dan eksis terus sampai sekarang yang semua orang kenal. Mungkin ada beberapa tetapi nggak semua.
Katakanlah Koh Rudy Hartono. Oke, legenda. Kita sekarang tahu Koh Rudy sebagai legenda bulu tangkis Indonesia. Tapi kehidupan dia sama keluarganya, itu yang lebih penting.
Nah itu tuh yang membuat pertimbangan. Jadi punya pemikiran kayak: "Gua butuh waktu, gua butuh hal yang fleksibel. Yang bisa gua bagi. Bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga sampa keluarga."
Apalagi pas sudah ada Jayden. Pas kemarin ketemunya cuma pagi, 10 menit sebentar sebelum berangkat. Pulang cuma sejam, habis itu tidak. Terus nggak berasa, tiba-tiba sudah sembilan bulan.
Langsung kayak:"Hah? Sudah sembilan bulan ya? Sudah tiba-tiba bisa ini, bisa itu. Kok gua enggak tahu ya?"
Berangkat pertandingan dua minggu, tiba-tiba sudah bisa ini-itu. Jadi merasa waktu itu berharga banget. Nggak bisa ngelihat dia bertumbuh saja tuh kayaknya gimana gitu.
Itu saya merasa kayak:
"Gila gua egois banget ya selama ini. Bulu tangkis memang yang membuat Jonatan seperti ini. Tetapi keluarga lu juga butuh lu. Anak lu apalagi, semua segala macam, istri, orang tua."
"Lu sudah berapa lama sih ngabisin waktu sama orang tua gitu dari lu kecil ketika lu udah mutusin jadi pemain bulu tangkis yang latihan pagi sore?"
"Berapa lama dan berapa lama lagi umur mereka? Kita enggak pernah tahu kalau soal umur."
Nah itu tuh yang membuat, jujur membuat pribadi saya jadi mikir. Di satu sisi Jonatan hidup dari bulu tangkis. Karena ada prize money, ada kontrak. Karena memang kebisaannya Jonatan di situ.
Tetapi di satu sisi, ada sosok keluarga, anak, istri, orang tua. Yang kalau waktu saya habiskan untuk bulu tangkis, apa tunggu mereka nggak ada dulu, baru menyesal gitu?
Nah itu tuh yang membuat pikiran-pikiran merasa kayak aduh gila gua egois banget ya. Karena berasa wkatu pas Kokoh meninggal waktu Covid. Jadi ya sudah, kayak berasa, sudah hilang saja gitu. Belum sempat ngapa-ngapain, belum sempat ambil banyak waktu bersama mereka.
Jadinya ya momen itulah timbul dari pikiran,"Apa yang bisa buat lebih fleksibel? Apa yang bisa buat semuanya berjalan beriringan?" Jadi akhirnya memutuskan untuk main profesional.
![]() |
Saat pertama kali menggendong Jayden dan sadar bahwa kamu sudah jadi Ayah, apa yang terlintas di pikiran kamu?
Pertama kali melihat dia, itu kayak orang kalau punya barang enggak boleh nih barangnya sampai kotor. Enggak boleh barang ini sampai kurang ini kurang itu. Kayak protektif banget. Kayak kalau bisa ini tuh jangan sampai kenapa-kenapa gitu.
Nah tapi ada satu perasaan lagi kayak, saya tuh sekarang sudah enggak kayak dulu, sudah ada tanggung jawab lebih. Bukan cuma orang tua, tetapi ada istri. sekarang ada anak juga. Tetapi justru danya dia malah lebih buat hidup yang tadinya mungkin flat, isinya cuma bulu tangkiiiiis terus. Pokoknya bulu tangkiiiss terus. Adanya dia itu jadi kayak ada satu warna baru.
Kayak hidup tuh bukan cuma buat karier doang. Punya anak ternyata bisa buat semangat juga, bisa tambah motivasi juga.
Ke belakang sebentar soal rencana menikah. Apa yang jadi pertimbangan kamu menikah di tahun sebelum Olimpiade?
Waktu itu memang sudah komitmen sama istri. Kami menikah, tetapi ya sudah fokusnya untuk Olimpiade dulu. Jadi pada saat itu memang sudah didiskusikan.
Keputusan untuk menikah memang sudah dari awal sudah disepakati bersama. Memang lebih ingin karena ada semangat baru, motivasi baru, suasana baru jadi akhirnya memutuskan menikah.
Karena sibuk persiapan Olimpiade, berarti kamu jadi gak mengalami momen menuruti permintaan ngidam istri?
Untungnya istri saya pengertian jadi jarang banget ngidam. Maksudnya saya cukup dibantu dengan kondisi istri saya yang enggak pengin minta dibeliin ini-itu. Kalau pengin apa-apa beli sendiri, jadi cukup terbantu.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>