Jakarta, CNN Indonesia --
Apa untung dan ruginya kompetisi kasta tertinggi Indonesia, Super League, memberlakukan kuota 11 pemain asing mulai musim ini?
Kebijakan 11 pemain asing disahkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Liga Indonesia Baru (LIB) di Jakarta, Senin (7/7). Ini kebijakan baru yang disetujui forum perusahaan.
Dengan hadirnya 11 pemain asing, yang delapan di antaranya bisa masuk daftar susunan pemain dan menjadi starter, wajah sepak bola Indonesia akan didominasi pemain internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Musim lalu misalnya, jika mengacu transfermarkt, 10 pemain Liga 1 dengan menit main paling tinggi, didominasi pemain asing. Dari 10 besar itu, hanya ada dua pemain nasional.
Dua pemain itu adalah Muhammad Toha (Persita) di urutan kelima dan Safrudin Tahar di urutan ke-10. Ini menurun dibanding musim 2023/2024, di mana ada tiga pemain masuk daftar 10 besar.
Daftar pencetak gol pemain lokal juga makin tergerus. Musim lalu hanya ada nama Egy Maulana Vikri dalam daftar 10 pemain tersubur. Egy berada di urutan kedelapan dengan 12 gol.
Begitu pula dalam urusan assist. Dari 10 pemain paling kontributif dalam urusan melepas umpan matang berbuah gol, hanya ada satu lokal, yakni Rizky Rizaldi Pora. Ia berada di urutan keempat.
Bisakah statistik pemain nasional membaik dengan kebijakan pemain asing baru ini? Keraguan muncul. Ada kekhawatiran kualitas pemain nasional akan semakin tergerus.
Namun, ada keyakinan dari PSSI dan pihak klub, kualitas kompetisi bakal meningkat dengan aturan ini. Pasalnya pemain asing yang didatangkan memiliki standar kualitas tertentu.
Asumsi yang dipegang pemangku kebijakan di operator kompetisi, dengan kian banyaknya pemain luar negeri yang hadir, pemain nasional bisa belajar dan menimbang ilmu sebanyak-banyaknya.
Hanya saja, jika berkaca dari performa musim lalu, tak semua pemain asing yang didatangkan klub, kualitasnya lebih baik. Pemain-pemain asing ini kadang terlihat biasa saja.
Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya>>>
Seperti pasar bebas di lingkup ekonomi dan bisnis, kompetisi sepak bola Indonesia semakin dalam masuk ke dalam industri global yang memegang azas persaingan terbuka.
Layaknya hukum rimba, hanya mereka yang kuat, punya tekad, dan berkualitas yang bisa bertahan. Dalam hal ini hanya pemain nasional yang benar-benar mumpuni yang akan bertahan.
Harga pemain asing kelas ketiga atau keempat dunia, yang bisa masuk ke dalam negeri, memaksa pemain lokal untuk menaikkan levelnya. Statis berarti tersingkir dari radar utama.
Kompetisi sepak bola Malaysia, sebagai contoh, bisa masuk ke dalam daftar peserta kompetisi kasta tertinggi AFC, Liga Champions Asia Elite, karena kebijakan pemain asing ini.
Sukses Malaysia itu tak lepas dari sepak terjang Johor Darul Ta'zim. Klub kaya raya ini mengumpulkan pemain dan pelatih berkualitas sehingga tak tertandingi di Malaysia.
Namun, sebelum Johor Darul Ta'zim begitu sukses, fasilitas disiapkan dengan baik. Klub milik Tunku Ismail Sutan Ibrahim ini klub ASEAN dengan fasilitas sepak bola paling mumpuni.
Karena ranking Indonesia ingin sebaik Malaysia, kebijakan serupa diambil. Ya, kebijakan kuota pemain asingnya saja yang diambil. Untuk fasilitasnya tidak terlalu jadi penekanan.
Oleh sebab itu tak heran jika pemain Indonesia mulai ketar ketir. Mereka kini harus bersaing dengan pemain asing yang punya kultur sepak bola lebih baik. Persaingan yang tidak imbang.
Namun, kebijakan sudah diketok. Kuota 11 pemain asing sudah sah secara hukum untuk diterapkan dalam kompetisi musim ini. Pemain nasional mau tak mau harus beradaptasi.
Jika musim sebelumnya sudah berat masuk daftar pemain, karena ada enam pemain asing yang bisa menjadi starter, kini jumlahnya akan menipis, nyaris hanya dua pemain saja.
Pasalnya delapan pemain asing bisa starter dan satu kuota untuk pemain U-23 dengan durasi main minimal 45 menit. Artinya hanya dua pemain (senior) nasional yang bisa starter.
[Gambas:Video CNN]