Seperti pasar bebas di lingkup ekonomi dan bisnis, kompetisi sepak bola Indonesia semakin dalam masuk ke dalam industri global yang memegang azas persaingan terbuka.
Layaknya hukum rimba, hanya mereka yang kuat, punya tekad, dan berkualitas yang bisa bertahan. Dalam hal ini hanya pemain nasional yang benar-benar mumpuni yang akan bertahan.
Harga pemain asing kelas ketiga atau keempat dunia, yang bisa masuk ke dalam negeri, memaksa pemain lokal untuk menaikkan levelnya. Statis berarti tersingkir dari radar utama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kompetisi sepak bola Malaysia, sebagai contoh, bisa masuk ke dalam daftar peserta kompetisi kasta tertinggi AFC, Liga Champions Asia Elite, karena kebijakan pemain asing ini.
Sukses Malaysia itu tak lepas dari sepak terjang Johor Darul Ta'zim. Klub kaya raya ini mengumpulkan pemain dan pelatih berkualitas sehingga tak tertandingi di Malaysia.
Namun, sebelum Johor Darul Ta'zim begitu sukses, fasilitas disiapkan dengan baik. Klub milik Tunku Ismail Sutan Ibrahim ini klub ASEAN dengan fasilitas sepak bola paling mumpuni.
Karena ranking Indonesia ingin sebaik Malaysia, kebijakan serupa diambil. Ya, kebijakan kuota pemain asingnya saja yang diambil. Untuk fasilitasnya tidak terlalu jadi penekanan.
Oleh sebab itu tak heran jika pemain Indonesia mulai ketar ketir. Mereka kini harus bersaing dengan pemain asing yang punya kultur sepak bola lebih baik. Persaingan yang tidak imbang.
Namun, kebijakan sudah diketok. Kuota 11 pemain asing sudah sah secara hukum untuk diterapkan dalam kompetisi musim ini. Pemain nasional mau tak mau harus beradaptasi.
Jika musim sebelumnya sudah berat masuk daftar pemain, karena ada enam pemain asing yang bisa menjadi starter, kini jumlahnya akan menipis, nyaris hanya dua pemain saja.
Pasalnya delapan pemain asing bisa starter dan satu kuota untuk pemain U-23 dengan durasi main minimal 45 menit. Artinya hanya dua pemain (senior) nasional yang bisa starter.