Kekhawatiran Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) bahwa kebijakan 11 pemain asing bisa mendisrupsi cukup beralasan. Hanya saja, ini bukan situasi terburuk yang sesungguhnya.
Yang terburuk adalah pemain terkontaminasi rayuan malas-malasan dari sosok nakal. "Ngapain latihan keras, kayak bakal main saja." "Santai saja, kawan." Begitu suara buruk itu bergema.
Dan, hampir di setiap tim dan generasi ada sosok pemain seperti itu. Eksesnya, mereka mengajak pemain yang lebih muda dan polos untuk menikmati hidup layaknya manusia biasa, bukan manusia atlet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dunia malam, makan sembarangan, dan menghisap rokok jadi candu. Nilai-nilai profesionalitas hanya dipakai sebagai lipstik untuk menutupi turunnya kualitas diri.
Peta jalan menjadi atlet sukses, seperti dicontohkan sejumlah bintang dunia, diambil yang enaknya saja. Gaya hidupnya. Adapun nilai juang atau usaha dan prosesnya diabaikan.
Latihan hanya cukup di lapangan bersama tim, setiap pagi atau sore. Sisanya santai. Jangankan merekrut pelatih pribadi untuk menunjang karier, latihan tambahan pun enggan.
Itu realitas sepak bola nasional. Bisa saja diingkari, tetapi faktanya tak bisa disembunyikan. Memang tidak semuanya, tetapi ideologi pemain virus begini sungguh membahayakan.
Siapa yang bisa melawan sosok-sosok perusak begini? Pemain-pemain muda bervisi. Mereka yang menganggap sepak bola sebagai jalan hidup, sehingga harus menghidupinya dengan dedikasi.
Pemain yang rela 'diasingkan' dari pergaulan lingkaran setan. Mereka ada dan eksis, tetapi jumlahnya tidak banyak. Karena itu kehadiran pemain asing diharapkan bisa memberi panduan.
Masalahnya, tak semua pemain asing punya kapasitas memberi suri tauladan. Mereka datang ke Indonesia hanya untuk mencari gaji dan tantangan, sisanya per setan.
Kalau sudah begini, pemain Indonesia bisa apa? Bisa berbuat banyak, asal mau berakit-rakit ke hulu. Rizky Ridho setidaknya bisa menjadi contoh, kendati terlalu dini untuk diglorifikasi.
(jal)