Jakarta, CNN Indonesia --
Jonatan Christie kembali mengakhiri turnamen di podium tertinggi, kali ini di Denmark Open. Ia mengulang cerita yang sama sebulan lalu di Korea Terbuka.
Jonatan memeragakan permainan yang apik saat dalam duel lawan Shi Yuqi. Jonatan mengakhiri perlawanan Shi Yuqi dengan skor 13-21, 21-15, 21-15 untuk berdiri di podium tertinggi.
Sepanjang turnamen digelar, Jonatan memang tak selalu tampil sempurna. Ada momen dirinya tak berdaya di hadapan lawan dan hal itu tak hanya satu kali terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada laga lawan Kenta Nishimoto, Alex Lanier, dan Shi Yuqi, Jonatan benar-benar dibuat tak berdaya di gim pertama. Namun Jonatan yang tampil di Denmark Open adalah Jonatan yang punya solusi untuk segera beradaptasi pada situasi dan mengubah strategi di lapangan.
Kalah telak di gim pertama, Jonatan bisa mengatasi beban berat dan menang dengan skor meyakinkan di dua gim berikutnya. Kekalahan telak di gim pertama seolah terjadi di waktu yang berbeda lantaran demikian drastisnya perubahan permainan Jonatan di gim kedua dan ketiga dibanding gim pertama.
Kemenangan Jonatan di Denmark Open juga jadi jawaban atas pertanyaan banyak orang, dan mungkin juga pertanyaan Jonatan terhadap diri sendiri.
"Apakah ia mampu melanjutkan tren bagus usai menang di Korea?"
"Seberapa jauh proses adaptasi latihan di luar pelatnas saat ini?"
"Bagaimana level kemampuannya menghadapi persaingan badminton di dunia saat ini?"
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akhirnya bisa dijawab dengan lugas dan jelas lewat gelar Denmark Open di tangan.
Dua gelar beruntun yang juga mungkin mulai bisa jadi jawaban awal tentang keputusan meninggalkan Pelatnas Cipayung di pertengahan tahun ini.
Dalam dua bulan terakhir, Jonatan Christie seperti terlahir kembali.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Setelah Olimpiade 2024 berakhir, Jonatan Christie seperti berada di titik nadir. Harapannya meraih medali musnah, bahkan sudah terempas sejak babak awal.
Keinginannya bermain badminton langsung surut. Jonatan membayangkan tak ada hal yang tersisa untuk membuatnya tetap bertahan di lapangan. Olimpiade 2028 dianggap masih terlalu jauh. Belum lagi berbicara soal keluarga kecil yang banyak ia tinggalkan dan momen manis yang sering ia lewatkan.
Dari segi 'kenyamanan', tetap bertahan di Pelatnas Cipayung adalah pilihan yang paling mudah bagi Jonatan. Ia masih jadi pemain nomor satu di Indonesia. Dengan tinggal di Pelatnas, ia tak perlu pusing dengan urusan-urusan kecil yang berkaitan dengan latihan dan pertandingan, yang sebenarnya ternyata rumit dan merepotkan. Bila tetap bertahan di Cipayung, Jonatan cukup datang dan tempat latihan sudah siap digunakan.
Namun sejak akhir tahun lalu hingga akhirnya keputusan jatuh di bulan Mei, Jonatan seperti melakukan taruhan. Bila diibaratkan, Jonatan punya angka lima di tangan dan angka itu akan aman andai ia tetap bertahan di Cipayung.
Jonatan mungkin akan tetap bisa menjaga konsistensi untuk 'sekadar' di zona 10 besar dan terus jadi pemain nomor satu setidaknya hingga 1-2 tahun ke depan. Karier yang terbilang 'aman' untuk Jonatan yang sudah berusia 28 tahun.
Sedangkan bila keluar dari Pelatnas Cipayung, angka lima itu berarti ia pertaruhkan. Angka lima itu bisa berubah jadi 10, tetapi tak menutup kemungkinan juga jadi nol. Jonatan bisa kembali bersinar dengan motivasi-motivasi baru yang ia punya atau malah tenggelam dan terbenam lebih jauh dari posisinya saat itu.
 Jonatan Christie meraih dua gelar beruntun. (Arsip PBSI) |
Berada di luar Pelatnas Cipayung, Jonatan punya motivasi-motivasi baru untuk membuktikan diri. Ia juga punya 'energi-energi' baru yang jadi bahan bakar semangatnya. Yang utama jelas waktu bersama keluarga yang lebih fleksibel karena ia kini bisa mengatur jam latihan lebih leluasa.
Berangkat pada hal itu, Jonatan tentu juga butuh pembuktian bahwa pengaturan jam latihan yang lebih fleksibel tidak sama dengan menjalani latihan dengan suka-suka. Bukti itulah yang kemudian bisa didapat lewat gelar juara di tangan.
Setelah keluar Pelatnas, segalanya tak langsung berjalan mulus untuk Jonatan. Ia bahkan selalu mentok di dua babak awal dan tak pernah menembus babak perempat final dalam empat turnamen awal.
Pada Kejuaraan Dunia, Jonatan bisa lolos hingga perempat final tetapi kembali gagal di langkah terakhir saat ingin mengamankan raihan medali Kejuaraan Dunia.
Barulah di Korea dan Denmark segalanya berubah manis. Jonatan bisa juara dan terlahir kembali jadi sosok pemain andalan yang layak diwaspadai para lawan.
Setelah momen ini, belum tentu jalan Jonatan akan terus mulus dan berbuah manis. Namun Jonatan kini bisa menengok ke belakang dan menguatkan keyakinan, dengan cara mengingat bahwa ada momen ia telah terlahir kembali, tetap beprestasi meski situasi di sekitarnya sudah berubah saat ini.
[Gambas:Video CNN]