Jakarta, CNN Indonesia -- Untuk mencapai target penjualan mobil listrik sebesar 20 persen dari total penjualan mobil nasional, pemerintah akan membidik pasar di luar Jakarta. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Ilmate) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan.
Menurutnya, pemerintah akan menargetkan wilayah Indonesia dengan ragam wisata sebagai pasar mobil listrik. Lokasi seperti Bali atau Yogyakarta, dianggap memiliki wilayah bersifat tertutup dan lebih mudah terkait penyediaan infrastruktur penunjang mobil listrik.
"Kalau kami menargetkan daerah yang punya
cluster-cluster seperti apa namanya
cluster wisata. Seperti Nusa Dua, atau Borobudur. Karena kenapa, kami lebih mudah untuk menyediakan infrastrukturnya,
charging station," kata Putu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara hal ini sulit dilakukan di Jakarta, yang wilayahnya lebih terbuka. Lebih terbuka karena pergerakan orang keluar masuk kota ini lebih tinggi.
"Bisa saja Jakarta, satu area saja. Seperti segitiga Sudirman, Thamrin, Kuningan. Nah di situ diterapkan kendaraan listrik, intinya kalau di sana ada infrastruktur, tidak ada masalah, dibuat cluster dulu," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Yusuf Kalla sempat mengungkap bahwa pihaknya menargetkan penjualan mobil listrik sebesar 20 persen pada 2025.
Seragamkan InfrastrukturPutu menegaskan menuju target 2025 itu, perlu adanya sinergi antara pemerintah dan industri otomotif untuk menentukan standar.
"Ada pengelola yang bisa menyediakan
charging station. Dan jangan lupa menyediakan standarnya mau seperti apa. Supaya, kendaraan listrik yang beredar menggunakan
plug-in yang sama," kata Putu.
Kemudian, perlu juga standarisasi
charging station. Penyeragaman ini diperlukan agar kendaraan tak perlu menggunakan adaptor sebagai penghubung ke sumber listrik. Hal ini juga menjadi efisiensi dalam industri dan mengindari ekspor.
"Jadi gini kalau bicara
charging station, yang diseragamkan colokannya. Mau pake colokan tiga, enam, atau delapan. Itu yang musti diseragamkan, jangan buat
charging station colokannya beda sendiri. Nanti malah tidak efisien di industri yang ujungnya, kita malah
import lagi," kata Putu.
Dorong hybridLebih lanjut, Putu menekankan bahwa kendaraan
hybrid lebih tepat di Indonesia. Sebab, kendaraan ini memadukan sumber energi konvensional dan listrik. Sebab, kendaraan yang ditenagai listrik secara penuh dengan infrastruktur terbatas harus memperhitungkan jarak tempuh kendaraan mereka.
"Pertanyaan saya kenapa harus
full? Kendaraan listrik membutuhkan infrastruktur untuk pengisian. Kalau kita punya mobil listrik dan tidak ada tempat ngisi, mau isi di mana? Ke Jogja (bisa) tiga hari dong. Setiap empat jam atau lima jam berenti ngisi. Misal udah ketemu tempat ngisi itu butuh (menunggu) waktu empat sampai lima jam," kata Putu.
"Makanya sekarang dikendaraan
hybrid, muncul teknologi
plug-in hybrid. Jadi
hybrid yang bisa di
plug-in di listrik rumah, jadi tidak usah di-
charge di
charging station," ujarnya menambahkan.
Sehingga ia menambahkan, pada 2025 regulasi
low carbon emision vehicle (LCEV), yang di dalamnya terdapat kebijakan mobil listrik atau hybrid sudah mulai diterapkan. Tinggal nantinya, bagaimana masing-masing daerah mengembangkan mobil listrik.
(eks)