Warga bernama Arifin Putranto yang berprofesi sebagai advokat menggugat Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNk) hanya berlaku lima tahun. Ia memohon agar STNK dan TNKB bisa berlaku seumur hidup seperti sebelum Indonesia merdeka sampai dengan 1984.
Gugatan itu terdaftar dengan Nomor 43/PUU-XXI/2023. Dalam gugatannya, Arifin mempersoalkan Pasal 70 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
"STNK dan TnKB berlaku selama lima tahun yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun tersebut tidak ada dasar hukumnya," kata Arifin dalam sidang yang digelar Kamis (11/5), mengutip laman resmi MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menceritakan pengalamannya saat harus mengurus STNK dan TNKB baru, maka kendaraannya harus dihadirkan di kantor Samsat.
Arifin mengatakan ketentuan itu mempersulit dirinya, karena sepeda motornya berada di Surabaya sementara Samsat di Madiun. Artinya ia harus membawa motornya dari Surabaya ke Madiun setiap mau memperpanjang STNK.
"Di mana hal tersebut tidak jelas dasar hukumnya yang berarti hal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Seandainya STNK dan TNKB tersebut berlaku selamanya seperti sebelum Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1984 maka tidak perlu repot-repot membawa sepeda motor tersebut dari Madiun ke Surabaya," jelas dia.
Ia lantas mengusulkan STNK dan TNKB berlaku selamanya. Menurut Arifin hal ini untuk mencegah pemalsuan dan pemborosan terhadap STNK dan TNKB.
Oleh karena itu, Arifin meminta MK menyatakan frasa "berlaku selama lima tahun yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun" dalam pasal 70 ayat (2) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945.
Arifin sebelumnya juga menggugat masa berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM) yang cuma lima tahun. Ia meminta agar SIM dapat berlaku seumur hidup.
Menurut Arifin masa berlaku SIM sangat merugikan sebab harus memperpanjang SIM secara berkala setiap lima tahun sekali.
"Setiap perpanjangan SIM, misalnya lima tahun yang lalu saya mendapatkan SIM setelah itu lima tahun habis saya akan memperpanjang kedua. Ini nomor serinya berbeda, Yang Mulia," kata Arifin.
"Di sini tidak ada kepastian hukum dan kalau terlambat semuanya harus mulai baru dan harus diproses. Tentu berbanding terbalik dengan KTP. Jadi kalau KTP langsung dicetak," ujar dia menambahkan.
Dalam permohonannya, Arifin menyatakan masa berlaku SIM cuma lima tahun tidak memiliki dasar hukum serta tak ada tolak ukur yang jelas. Soal kerugian, ia mengaku harus mengeluarkan biaya serta tenaga dan waktu untuk proses memperpanjang masa berlaku SIM.
Arifin juga manyampaikan soal kesulitan setiap pemohon untuk mendapat SIM mulai dari ujian teori. Misalnya, hasil ujian teori tidak ditunjukkan mana jawaban benar dan salah, tapi hanya diberitahu kalau tidak lulus ujian teori.
Selain itu, ia menilai tolak ukur materi ujian teori dan praktik juga tidak jelas dasar hukumnya, lalu ia meragukan hal tersebut apakah sudah berdasarkan kajian dari lembaga berkompeten dan sah atau tidak. Bagi dia ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
(dmr)