Adu Mobil Listrik China, Jepang dan Korea di Indonesia
Praktisi industri otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Pasaribu menyebut pabrikan China lebih unggul dari Jepang di pasar mobil listrik Tanah Air.
"Persaingan antara BEV China dan Jepang jelas akan dimenangkan China. Karena, China lah negara yang paling maju, paling cepat, paling banyak inovasinya dalam sektor industri BEV di dunia saat ini," ujar Yannes.
Hal tersebut bukan tak berdasar, Yannes menyebut China sudah memulai rencana ambisius pengembangan mobil listrik baterai (BEV) sejak 2009. Sejak saat itu Negeri Tirai Bambu dikatakan melakukan sederet langkah untuk mengakselerasi industri ini.
"Sepanjang dekade 2010-an, China mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk mendorong produksi dan pembelian mobil listrik, seperti kuota produksi, insentif bagi pembeli, dan pembatasan registrasi kendaraan bermotor konvensional di beberapa kota," tuturnya.
Yannes menyebut China adalah pasar mobil listrik terbesar di dunia. Pasalnya, pemerintah China memberikan insentif yang besar untuk produksi dan pembelian mobil listrik, yang telah mendorong pertumbuhan cepat dalam sektor ini.
Menurutnya, saat ini banyak produsen mobil lokal China, seperti NIO, Xpeng, dan BYD, telah tumbuh dengan cepat dan bersaing dengan merek global.
"Jangan lupa, BYD, NIO, XPeng, dan lainnya, tidak hanya populer di dalam negeri China saja, tetapi juga sudah mulai mengekspansi ke pasar internasional secara masif dan tidak tertahankan oleh brand-brand besar di Eropa dan USA," terangnya.
Sementara itu, Jepang memiliki pengalaman dalam teknologi elektrifikasi lewat program mobil hibridanya, yang sempat diyakini Jepang sebagai kendaraan paling ideal.
Dikarenakan keyakinan tersebut, pada awalnya industri otomotif Jepang berfokus untuk hanya memproduksi BEV dan EV Fuel Cell tahun 2050.
"Jadi Jepang memang sempat salah membaca tren dunia dan terlambat dalam merespons tren mobil listrik murni," kata Yannes.
Lebih lanjut dijelaskan keunggulan China juga tak hanya dari segi teknologi, tetapi juga pada sisi harga. Harga yang ditawarkan pabrikan China cenderung lebih terjangkau dibandingkan pabrikan Jepang.
Selain itu, efisiensi produksi dan rantai pasokan yang telah optimal di China juga memungkinkan mereka untuk menawarkan produk dengan harga yang lebih kompetitif tanpa mengorbankan kualitas.
"Dengan produk berkualitas tinggi, jaminan 3S (Sales-Service-Spareparts) yang masif dari produsen BEV China saat ini, maka jelas hal ini menjadi keunggulan kompetitif BEV China yang sangat mempengaruhi keputusan segmentasi gen Millenial konsumen potensialnya di Indonesia," tutur Yannes.
Meski demikian, Jepang memiliki reputasi kuat dalam hal kualitas dan keandalan produk otomotif. Sehingga, menurut Yannes, Jepang mungkin harus mulai berpikir untuk bersaing dengan menekankan aspek harga selain aspek-aspek keunggulan klasiknya seperti seperti daya tahan, fitur keselamatan, dan nilai jual kembali.
Sedangkan pabrikan otomotif Korea, yakni Hyundai dianggap telah berhasil membangun citra merek yang kuat di pasar Indonesia, yang sedang dalam fase awal adopsi EV.
Keberhasilan peluncuran model seperti Ioniq 5 menunjukkan bahwa konsumen Indonesia mungkin lebih mengaitkan inovasi EV dengan merek Korea daripada Jepang, yang "mungkin" dianggap sebagai pemain yang datang terlambat dalam pasar EV.
Yannes menilai, merek Jepang terlambat dalam pembentukan citra sebagai pemain utama dalam teknologi EV, terutama karena sebelumnya mereka telah fokus pada mobil hybrid.
"Pengenalan lebih awal dari EV Korea seperti Hyundai Ioniq 5 di pasar Indonesia menandai keunggulan strategis yang signifikan dalam membangun kehadiran merek di segmen kendaraan listrik yang sedang berkembang," ujar Yannes.
Yannes menjelaskan, pabrikan Korea telah menunjukkan dengan peluncuran produk EV dan membangun pabrik kendaraan hingga baterainya di Indonesia, sementara Jepang harus mempercepat inovasi mereka untuk tidak tertinggal lebih jauh, baik dari sisi desain, teknologi maupun harga.