Jakarta, CNN Indonesia -- Pengacara publik yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3 diskriminatif dalam penegakan supremasi hukum.
Mereka terutama mengkritisi adanya pasal 245 tentang prosedural penyidikan anggota Dewan yang terduga melakukan tindak pidana.
Pengacara publik dari LBH Jakarta, Ichsan Zikry, mengatakan pasal tersebut membuat proses peradilan akan berjalan berbeda antara anggota Dewan dengan masyarakat miskin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adanya pasal tersebut membuat proses penyidikan setiap anggota Dewan yang melakukan tindakan pidana tidak serta merta bisa diproses. Mahkamah Kehormatan Dewan mesti memberikan persetujuan, yang akan diberikan dalam kurun 30 hari.
“Selama 30 hari, tersangka memiliki kesempatan untuk menghilangkan barang bukti dan mengancam saksi,” ujarnya Ichsan ditemui di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin (18/8). ”Prosedur izin bisa menjadi alat politik.”
Ia melanjutkan semestinya keistimewaan seperti itu tidak diberikan pada mereka yang punya kuasa melainkan pada masyarakat miskin.
“Jangan sampai orang miskin nuntut keadilan prosesnya malah berlarut-larut,” ujar Ichsan.
Pengacara lainnya dari LBH Jakarta, Muhammad Isnur, mengatakan sejak awal Agustus hingga sekarang pihaknya sudah menangani sedikitnya 80 kasus tindak pidana yang melibatkan masyarakat sipil.
Sayangnya, perlakukan penyidik terhadap kasus peradilan yang dialami oleh masyarakat sipil dinilai diskriminatif.
“Polisi cenderung melanggar asas dan menangkap semena-mena masyarakat sipil meski tanpa alat bukti yang cukup. Beberapa kasus pidana justru diputus bebas di peradilan,” jelasnya.
Isnur mengatakan pola keistimewaan terhadap pejabat dan anggota Dewan pernah terjadi sebelumnya, yakni pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).
Dalam UU tersebut penyidikan pejabat daerah yang melakukan tindak pidana harus melalui persetujuan presiden. Namun, saat dilakukan uji materi di MK, peraturan tersebut dibatalkan.
“Ini kesamaan fakta. Ada bias membuat UU yang tidak obyektif dan tidak rasional,” ujarnya.
Isnur juga menyayangkan adanya kesan UU MD3 terburu-buru untuk disahkan padahal UU lain seperti UU Hukum Acara Pidana yang menyangkut kepentingan masyarakat luas masih tertunda.
"UU tersebut harusnya ditunda dulu untuk periode selanjutnya," ujarnya.