Partai Golkar tak asing dengan perpecahan. Era reformasi 1998 membawa demokratisasi ke tubuh Golkar sekaligus benih-benih keretakan. Tiap Golkar menggelar musyawarah nasional, ada saja kader yang hengkang. Maka selain menjadi ajang pertarungan memperebutkan kursi ketua umum, Munas menjadi semacam kutukan bagi Golkar.
Munas 1998 misalnya, berujung dengan pengunduran diri bekas Panglima ABRI Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjat dari partai beringin. Saat itu, Edi berebut jabatan ketua umum dengan Akbar Tandjung dan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Akbar Tandjung kepada CNNIndonesia pekan lalu menceritakan bagaimana proses pemilihan ketua umum berlangsung. Ketika itu setiap calon ketua umum harus memperoleh dukungan minimal lima suara Dewan Pimpinan Daerah Golkar. Pada putaran pertama, Edi mendapat 15 suara DPD, Akbar Tandjung 10 suara, Sultan satu suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka Edi dan Akbar melanjutkan pertarungan ke putaran kedua. Hasilnya menjadi berbalik. Akbar mengantongi dukungan 17 DPD, sedangkan Edi hanya 10 DPD. Akbar pun menjabat ketua umum, tapi Edi keluar dan mendirikan Partai Keadilan dan Pesatuan (PKP) yang di kemudian hari berubah menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Selain Edi, Mien Sugandhi juga mundur di masa kepemimpinan Akbar. Mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita itu lantas mendirikan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Namun MKGR tak lolos ambang parlemen.
Friksi juga terjadi pada munas 2004. Saat itu terdapat beberapa nama calon ketua umum. Namun kandidat kuatnya hanya dua, Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung. Namun magnet JK lebih kuat karena dia ketika itu menjabat wakil presiden di pemerintahan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak berdiri, Golkar cenderung nyaman berada di lingkaran kekuasaan.
Maka JK memenangkan pertarungan dengan dramatis dan menjadi ketua umum. Munas 2004 tak pelak membuat Akbar merasa ditelikung. Agung Laksono yang diharap Akbar berada di belakangnya, ternyata berbelok mendukung JK. Padahal Akbarlah yang memuluskan langkah Agung menjadi Ketua DPR menggantikannya.
Di masa JK ini, Wiranto mundur dari Golkar dan mendirikan Partai Hanura. Selanjutnya Prabowo Subianto juga mundur dan mendirikan Partai Gerindra. Hanura dan Gerindra kini lolos ambang parlemen aktif berkiprah di DPR mengikuti jejak Golkar.
Munas berikutnya tahun 2009 melahirkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum. Ia mengantongi 296 suara, berselisih tipis dengan Surya Paloh yang memperoleh 240 suara. Paloh tak puas. Menurutnya ada yang tak beres dengan munas kedelapan Golkar itu.
Pada akhirnya Paloh mundur dari Golkar dan mendirikan ormas Nasdem yang kemudian berubah menjadi partai. Nasdem pun kini lolos ambang parlemen dan siap berkiprah di DPR.
“Munas selalu menghasilkan perpecahan,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Golkar Yorrys Raweyai beberapa waktu lalu. Padahal seharusnya munas melahirkan kekompakan antarkader.
Menurut Yorrys, di bawah Aburizal pun Golkar tidak solid. Hal itulah yang membuat perolehan suara Golkar tak mencapai target pada pemilu legislatif 2014.
Kini tahun 2014, perpecahan kembali mengintai Golkar. Ical memecat sejumlah kader muda potensial Golkar yang berseberangan sikap politik dalam pemilu presiden. Langkah ini membuat Ical menjadi “musuh bersama” sebagian kader partai beringin.
Ical menjadi target untuk digulingkan. Itu pula sejumlah kader Golkar menghendaki munas digelar tahun 2014, tak perlu menunggu tahun 2015. JK yang terpilih sebagai wakil presiden untuk kedua kalinya membayang-bayangi upaya Ical mempertahankan sisa kepemimpinannya di Golkar.
“Pengaruh Jusuf Kalla sebagai tokoh senior Golkar dan wakil presiden terpilih dapat sangat menentukan (arah koalisi Golkar),” kata Nusron Wahid, salah satu kader muda Golkar yang dipecat karena mendukung Jokowi-JK –mengabaikan instruksi partai untuk mendukung Prabowo-Hatta.
Ical pun menggalang kekuatan dengan mengumpulkan Dewan Pimpinan Daerah Golkar tingkat provinsi di kediamannya, Senin (25/8). “Dalam organisasi, setiap keputusan partai harus dijalankan semua anggota. Sebelum keputusan diambil dengan prinsip demokratis, kader boleh mengusulkan segala macam pandangan mereka. Begitu keputusan diambil organisasi, maka tidak ada yang boleh tidak loyal,” ujar Ical seusai pertemuan dengan DPD, Senin (25/8).
Tentu saja pertarungan belum usai.