Ketika Barisan Raja Kecil Hadang Satu Raja Besar

CNN Indonesia
Senin, 08 Sep 2014 17:26 WIB
Tak ada rotan akar pun jadi, tak dapat pusat daerah pun dihabisi. Hal itu sepertinya menjadi langkah paling masuk akal yang diambil oleh Koalisi Merah Putih. Bahkan sangat rasional untuk menampung kekuatan daerah sebagai penyeimbang pemerintahan.
Spanduk
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden terpilih Joko Widodo beserta wakilnya Jusuf Kalla akan dilantik pada 20 Oktober mendatang. Kemenangan Jokowi-JK untuk meneruskan pemerintahan lima tahun mendatang tidak sejalan dengan kekuatan di parlemen yang memiliki persentase 60 persen tergabung dalam Koalisi Merah Putih pengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Masalah terkini, persoalan di depan mata Jokowi-JK adalah mengenai aturan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang saat ini tengah digodok DPR RI. Peta kekuatan politik di parlemen pun kemudian berubah pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus pemenang Pilpres 2014.

Koalisi Merah Putih yang kalah, meskipun tidak telak, rupanya tidak habis akal untuk bisa menggalang kekuatan menyambut roda pemerintahan mendatang. Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera akhirnya dalam waktu singkat mengubah haluan dalam posisi mendukung pilkada dipilih melalui DPRD, yang mana sebelumnya mereka lebih memilih untuk pilkada secara langsung oleh rakyat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala daerah, menjadi sebuah posisi strategis, saat dikeluarkanya UU Otonomi Daerah pada 1999 atau dikenal dengan UU Nomor 22/1999 yang kemudian diubah dan digantikan dengan UU Pemerintah Daerah Nomor 32/2004. Selanjutnya, dilakukan lagi perubahan melalui UU RI Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah membuat kepala daerah memiliki kekuasaan dan kekuatan lebih untuk mengurus daerahnya.

Menjadi harapan adalah saat kuatnya kepala daerah dibarengi oleh akurnya hubungan mereka dengan pemerintah pusat, khususnya presiden dan jajarannya, utamanya Kementerian Dalam Negeri. Melihat pelajaran di masa pemerintahan SBY-Boediono, dengan kekuatan koalisi yang kuat baik di pemerintahan maupun parlemen, pembangkangan kepala daerah seringkali terjadi.

Empat fraksi yang memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak pada 1 April 2012, yaitu Fraksi Gerindra, PKS, Hanura, dan Fraksi PDIP adalah suatu hal yang wajar saat itu terjadi dinamika di parlemen. Namun, pada level petinggi eksekutif di tingkat kabupaten/kota ikut membangkang perintah SBY dalam kenaikan harga BBM, seperti Wali Kota Solo FX Rudi Rudyatmo, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, Wali Kota Probolinggo HM Buchor, dan Bupati Bangkalan Fuad Amin.

Pembangkanan itu bukanlah bentuk sebuah opini, melainkan pernyataan langsung Mendagri Gamawan Fauzi yang menanggapi banyaknya kepala daerah menentang kebijakan pusat. Bahkan, ancaman untuk memecat kepala daerah pun sempat terlontar, yang mana Gamawan berpegang pada UU Pemda Nomor 32/2004 pasal 28 dan 29, dengan tudingan mereka telah melanggar janji/sumpah jabatan bahwa akan patuh pada kebijakan pemerintah pusat.

Tidak cukup menguasai parlemen, Koalisi Merah Putih pun berencana melakukan sapu bersih untuk menguasai suara mayoritas DPRD. Di tingkat pusat, partai yang tergabung dalam kubu Prabowo-Hatta ini sudah mengambil ancang-ancang dengan mematok kursi ketua DPR RI dan MPR RI.

Salah satunya lewat paket pemilihan yang diatur UU MD3. Jika melihat komposisi parlemen, koalisi Jokowi-JK tak bisa mengajukan paket pimpinan DPR karena hanya diisi empat partai yang menjadi fraksi di DPR RI, yaitu Fraksi PDIP, Fraksi Hanura, Fraksi PKB, dan Fraksi NasDem.

Titi Angraeni dari Perkumpulan Untuk Demokrasi (Perludem) menyoroti bila Pilkada digelar oleh DPRD merupakan bentuk kemunduran demokrasi, termasuk inkosistensi konstitusi yang berbasis presidensial. Pemilihan kepala daerah langsung yang saat ini dituding oleh Koalisi Merah Putih berbiaya mahal dan membodohi rakyat dengan politik uang dan memicu konflik, dibantah keras oleh Titi.

"Soal kerusuhan, money politik, biaya tinggi Itu kan sudah dijawab soal politik biaya tinggi ya pakai pemilu serentak. Masalah kerusuhan, ada berapa data angkanya? Paling 10 persen dan itu kan rakyat tidak memobilisasi dirinya sendiri untuk rusuh, tapi dimobilisasi pihak yang siap menang tapi tidak siap kalah,” kata Titi membeberkan pada CNN beberapa waktu lalu.

Kepala daerah terpilih yang memiliki kewenangan dalam memimpin daerahnya, kemudian akan sulit diatur meskipun sudah jelas aturan main yang tertuang di RUU Pemda. Partai Demokrat merupakan partai pemerintah —saat ini— menjelang perubahan pemerintahan baru pun tiba-tiba balik kanan berseberangan dengan pemerintahan SBY dalam mendukung pemilihan lewat DPRD, meskipun fraksi itu langsung menolaknya jika disebut tidak konsisten atas keputusan yang diambilnya di DPR.

Dengan alasan irit biaya dan memperkecil lubang korupsi, Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu mengatakan pemilihan kepala daerah langsung tidak serta merta melahirkan pemimpin yang berkualitas dan memiliki moralitas baik.

Kemungkinan hadirnya raja-raja kecil pembangkang aturan pemerintah pusat baik melalui Mendagri ataupun presiden langsung. "(Calon yang terpilih dari pilkada langsung) bukan yang terbaik secara kualitas dan moralitas," kata Khatibul di DPR, Senin (8/9). Bukti yang ia paparkan untuk klaim ini adalah fakta bahwa 333 kepala daerah per hari ini sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi dari 524 kabupaten dan kota serta 33 provinsi.

Fraksi PAN diwakili Sekjennya Taufik Kurniawan yang juga Wakil Ketua DPR  mengaku tidak khawatir dengan ketakutan hadirnya pembangkangan dari kepala daerah. Menurutnya, ranah daerah akan sangat berbeda dengan ranah pemerintahan pusat. Selain itu dinamika politik yang akan menentukan sikap kepala daerah bukan karena aturan pemilihan pilkada langsung atau lewat DPRD.

“Kepala daerah itu kan jabatan politik, dan dinamikanya akan berbeda. Jangan teralalu jauh soal membangkang, selama keputusannya untuk kepentingan rakyat saya rasa tidak ada yang membangkang,” kata Taufik saat berbincang melalui pesawat telepon kepada CNN Indonesia, Senin (8/9).

Taufik mengaku pihaknya melakukan kajian atas RUU Pilkada ini dan tidak ingin disangkutpautkan dengan koalisi Merah Putih. “Ini kajian kami, jangan sedikit-sedikit dikaitkan dengan Merah Putih.”

Fraksi PDIP, tetap konsisten. Pramono Anung, politisi senior PDIP yang saat ini duduk sebagai Wakil Pimpinan DPR RI menegaskan tiada alasan pihaknya akan berbalik arah. Pramono khawatir, dihapusnya pemilihan lansung oleh rakyat untuk kepala daerah akan menghambat tokoh-tokoh berkualitas yang benar-benar diinginkan rakyat, karena saat DPRD ambil alih maka jalan calon independen tersegel.

“Kedaulatan di tangan rakyat itu kan sudah terbukti melahirkan pemimpin unggul seperti Risma, Ridwan Kamil, Ahok, sekarang dengan RUU ini lebih mengedepankan politik jangka pendek saja saya lihat" ujar Pramono di DPR, Senin (8/9).

Berhitung matematis dari 560 kursi di DPR RI, PDI hanya memiliki 207 kursi di DPR dengan dukungan PKB, Hanura, dan NasDem. Sisanya berada digenggaman koalisi Merah Putih. Jika pun Demokrat yang dikabarkan masih netral untuk tidak bergabung di koalisi manapun dianggap masuk ke kubu Jokowi-JK akan menambah 61 kursi, itu belum melampaui kursi Koalisi Merah Putih. Kemudian, tidak hanya soal RUU Pilkada, aturan yang berasal dari DPR yaitu berupa UU akan mempersempit ruang gerak koalisi Jokowi-JK di parlemen untuk melanggengkan jalannya roda pemerintahan.

Tertutupnya calon independen untuk maju dalam kontestasi pilkada membuat irisan kepentingan partai politik sangat besar, bahkan nyaris membuat rakyat tidak bisa secara langsung ambil bagian dalam menentukan siapa wakil mereka untuk mengisi posisi gubernur, wali kota atau bupati.

Melihat hitungan pasti, mayoritas kursi DPR RI, DPRD I dan DPRD II dikuasai Koalisi Merah Putih dan jika melihat kader-kader yang duduk di legislatif sebagai perpanjangan partai, maka akan sulit untuk melepaskan kepentingan partai yang masuk dalam dua kubu yang tidak sama kuat secara politik -jumlah suara- dalam mengambil keputusan.

Dihubungkan dengan Pilkada, maka irisan partai politik dalam darah kepala daerah sangat kental jika DPRD mengambil alih pemilihan. Kepentingan politik yang berbeda dalam marwah partai yang mengusung kepala daerah melalui DPRD memperbesar kemungkinan pembangkangan kepada pemerintah pusat. UU Pemda yang mengatur kewajiban dan hak kepala daerah bisa saja dengan mudah dilewati, karena kekuatan suara mayoritas di parlemen mampu membuat UU.

Tak hanya itu, dalam kajian RUU Pilkada di DPR seharusnya berpatokan pada UUD 1945 yang berbunyi, “Gubernur, BUpati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.”

Bisa dikatakan, pemilihan demokratis dalam sebuah sistem negara presidensial pemilihan secara demokratis untuk kursi eksekutif seharusnya dilakukan sama dari level presiden hingga bupati/wali kota. Dengan dalih tersebut, jika RUU Pilkada ini disahkan melalui pemilihan lewat DPRD, Fraksi PDI Perjuangan akan langsung membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika kemudian MK menerima permohonan tersebut, bisa dihitung berapa biaya dan tenaga yang dihabiskan oleh anggota Dewan untuk menembuskan RUU Pilkada sah menjadi undang-undang.

Adapun Joko Widodo berkomentar soal RUU Pilkada Daerah oleh DPRD sebagai suatu kemunduran demokrasi. Menurutnya, jika benar disahkan dan DPRD memiliki hak untuk memilih kepala daerah maka hal itu berarti memangkas kedaulatan rakyat. “Kemunduran demokrasi, memotong kedaulatan rakyat itu,” kata Jokowi kepada media di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (8/9). “Ya betul mundur dong, masa dari pilihan langsung rakyat ke Dewan, ya mundur,” timpalnya singkat.

Tak ada rotan akar pun jadi, tak dapat pusat daerah pun dihabisi. Hal itu sepertinya menjadi langkah paling masuk akal yang diambil oleh Koalisi Merah Putih. Bahkan sangat rasional untuk menampung kekuatan daerah sebagai —disebut Koalisi Merah Putih— penyeimbang pemerintahan. Namun, dengan segala alasannya, rakyat ingin menunjuk hidung para calon kepala daerah untuk mewakili mereka dengan terlibat secara langsung dan terbukti menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat pilihan rakyat tanpa berseberangan dengan pemerintah pusat.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER