Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga pemantau pemilu Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat lain menolak pilkada oleh DPRD. Pilkada tak langsung menjadi salah satu pokok bahasan DPR dan pemerintah dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang ditargetkan disahkan menjadi Undang-Undang dua hari lagi, Kamis (11/9).
JPRR menyatakan pilkada langsung yang digelar Indonesia sejak 2005 sesungguhnya berlangsung cukup baik. “Sistemnya baik. Yang buruk adalah pelaku politiknya, mulai dari partai politik sampai calon kepala daerah. Mereka yang membuat sistem ini menjadi mahal,” kata Sunarto, Manajer Program JPRR, dalam konferensi pers 'Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pilkada oleh DPRD' di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (9/9).
Ia menuding pihak yang mendukung kewenangan memilih kepala daerah dikembalikan ke DPRD sekedar mengedepankan nafsu politik. “Padahal sistem pemilu di Indonesia sudah menjadi role model bagi negara lain. Politik kita sudah banyak pembaruan,” kata Cak Narto, sapaan Sunarto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pilkada lewat DPRD didukung oleh enam fraksi di DPR yang seluruhnya merupakan bagian dari koalisi Merah Putih, yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP. Hanya tiga fraksi yang ingin mempertahankan pilkada langsung, yaitu PDIP, PKB, dan Hanura. Ketiga fraksi minoritas ini sejalan dengan pemerintah yang menghendaki pilkada langsung.
Pemerintah mengatakan meski pilkada langsung mempunyai kekurangan, tapi bisa dibenahi. Caranya dengan membuat aturan dana kampanye murah dan menggelar pilkada secara serentak. Pilkada serentak menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Minggu (2/9), dapat memangkas anggaran hingga Rp 7 triliun.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan pilkada langsung oleh rakyat adalah bagian dari amanat reformasi yang harus dijalankan. Menurutnya, pilkada langsung yang pertama kali digelar tahun 2005 di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bertujuan untuk menghapus maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Presiden terpilih Joko Widodo juga tak setuju pilkada oleh DPRD. Ia menganggap ide itu bentuk kemunduran demokrasi. “Masak dari pemilihan langsung oleh rakyat jadi oleh Dewan. Mundur dong. Itu memotong kedaulatan rakyat,” kata Jokowi, Senin (8/9).
Alasan pilkada tak langsung diperlukan untuk mengurangi praktik politik uang dan kasus kepala daerah yang terjerat korupsi, dinilai KPK tak tepat. KPK justru berpendapat pilkada tak langsung berpotensi membuat kepala daerah menjadi mesin uang anggota DPRD setempat. Praktik suap-menyuap bisa makin subur. Pengusaha atau korporasi dapat dengan mudah menyogok anggota DPRD agar kepentingannya diloloskan, dan anggota DPRD lebih leluasa memeras kepala daerah.