Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa penuntut umum Yudi Kristiana mengkritisi metode klarifikasi saksi dalam persidangan yang diajukan oleh terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang Anas Urbaningrum. Menurutnya, Anas dan kuasa hukumnya Firman Wijaya mengulang pertanyaan yang sudah diajukan jaksa sebelumnya menggunakan pertanyaan deskripsi.
"Metode yang demikian dapat dipandang dengan penyesatan fakta," kata Yudi dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (11/9).
Yudi juga menambahkan cara bertanya mengulang cenderung menimbulkan pengalaman traumatik kepada saksi, baik dalam kasus yang sama maupun perkara lain. Selain itu, jaksa juga menilai Anas dan Firman bertanya kepada saksi secara intimidatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Contoh intimidasi kepada Aan Ikhyaudin, supir Nazaruddin," kata Yudi.
Lebih jauh, Yudi menambahkan, Anas dan kuasa hukumnya berusaha mengejar persepsi daripada keyakinan dari persidangan saksi.
"Dunia hukum tidak berakar pada persepsi. Persepsi tidak dibangun dari kebenaran. Keyakinan dibangun dari kebenaran yang dibuktikan secara hukum," katanya.
Bukti dari persepsi tersebut, menurut Yudi, Anas dan Firman seringkali mengutip fakta persidangan secara parsial dan tidak utuh. "Hanya bagian yang sesuai dengan persepsi Anas dan kuasa hukumnya," ucap Yudi. Oleh karena itu, jaksa Yudi meminta kepada majelis hakim untuk mempertimbangkan penilaiannya saat memutuskan perkara.
Sebelumnya, Anas didakwa menerima gratifikasi satu unit mobil Toyota Harrier dan satu unit mobil Toyota Vellfire dengan nomor polisi B 69 AUD senilai Rp 735 juta rupiah. Selain itu, ia didakwa menerima hadiah kegiatan survei pemenangan Anas dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai sekitar Rp 478 juta. Dakwaan lain yakni uang sejumlah Rp 116 miliar dan sekitar USD 5 juta.
Anas juga menerima uang Rp 84 miliar dan USD 36 ribu dari Muhammad Nazaruddin pemilik Permai Group. Uang tersebut digunakan untuk keperluan persiapan pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Uang diberikan Nazar sebagai hadiah kepada Anas lantaran keterlibatannya memuluskan pengerjaan proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Anas juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dari sisa gratifikasi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat senilai Rp 20 miliar. Uang tersebut digunakan untuk membeli tanah di Jakarta dan Yogyakarta.
Atas tindak pidana tersebut, Anas dijerat pasal berlapis. Anas dinilai melanggar pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
"Dipidana dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun," ujar jaksa Yudi Kristiana dalam sidang.
Anas juga dijerat pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.