Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden terpilih Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla mengumumkan formasi kabinet pada Senin malam lalu. Rumah Transisi, markas kubu Jokowi-JK, menjadi tempat diumumkannya struktur menteri yang membagi jatah 18 kursi untuk kalangan profesional dan 16 menteri dari kader partai politik.
Malam itu, Jokowi -begitu ia akrab dikenal- menjelaskan kepada wartawan jika kabinetnya nanti akan terdiri dari 34 kementerian. Jumlah pos kementerian yang sama dengan pemerintahan Presidenn Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Yang menarik, tersedianya 16 kursi untuk parpol mengguar beragam spekulasi. Bahkan hitung-hitungan menteri di luar kalangan profesional menjadi liar. Sebab Jokowi mengungkapkan adanya wacana jatah untuk tetangga sebelah, Koalisi Merah Putih. Pernyataan soal adanya dua jatah kursi untuk kubu "tetangga" sontak membuat publik terhenyak. Meski pemilihan memang menjadi hak prerogatif presiden, namun membuka keran bagi Koalisi Merah Putih adalah langkah yang layak dinilai sebagai anomali.
Saat dikonfirmasi pada Rabu (17/9), Jokowi membantah kabar soal dua jatah menteri itu. "Gimana kamu ngitung? Hitung-hitungan kamu itu hitung-hitungan n
gawur. Sudahlah hitungan kamu terserah," ucap Jokowi di Balai Kota DKI Jakarta. Bantahan itu menepis hadirnya wacara jatah kursi yang akan disebar bagi parpol, yang mana PDI Perjuangan dapat lima kursi, PKB 3 kursi, NasDem 2 kursi, Hanura 2 kursi, PKPI 1 kursi dan untuk kader Koalisi Merah Putih 2 kursi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan menegaskan tidak ada isu yang tiba-tiba berdiri sendiri. Meskipun isu itu tidak jelas sumbernya, jatah dua kursi untuk Koalisi Merah Putih ibarat rajukan Jokowi untuk mendapat dukungan di parlemen untuk memuluskan pemerintahannya.
Asep mengungkapkan, tanpa niat menuduh secara politik wacana jatah dua menteri untuk kubu Prabowo-Hatta ibarat mahar atau iming-imingan kerena sebetulnya jika Jokowi tidak memiliki agenda lain, maka posisi menteri tidak perlu diributkan. "ini kan hak Jokowi, tak ada yang perlu didiskusikan, mau dari manapun yang penting kerja benar dan jujur," kata Asep kepada CNN Indonesia, Rabu (17/9).
Sejak pengumuman kabinet, formasi profesional dan parpol, telah mengindikasi komunikasi politik sebagai umpan bagi koalisi tetangga, karena Jokowi sangat membutuhkan dukungan. Jika kemudian dua kursi ini diberikan dan diterima oleh Koalisi Merah Putih, yang paling berpeluang PPP dan Demokrat juga kemungkinan Golkar, maka dipastikan Koalisi Merah Putih akan masuk dalam catatan sejarah singkat politik bangsa ini.
"PPP sudah bukan Suryadharma, mereka sangat mungkin ke Jokowi, Demokrat juga. Kalau begini bubar jalan Koalisi Merah Putih."
Khusus bagi Golkar, tekanan yang didapat partai beringin sangat berbeda. Bukan kader biasa, tapi mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla menjadi wakil presiden terpilih mendampingi Jokowi. Masih berbalut jas kuning, JK tetap melangeng tak menghiraukan dukungan Golkar ke Prabowo-Hatta yang terbukti telah kalah dalam kontestasi Pilpres 2014.
"Sebagai mantan ketua umum, itu posisi yang bukan main-main. JK pasti punya gerbong panjang. Jatah dua kursi menteri bisa dianggap untuk mengakomodir kader Golkar yang mendekat ke JK," paparnya.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Tantowi Yahya membantah. Tidak katanya, pihak Golkar tidak akan keluar dari garis batas yang telah menjadi kesepakatan Koalisi Merah Putih, dan tidak ada satupun dari Koalisi Merah Putih yang akan menjadi menteri di pemerintahan Jokowi.
"Sikap kita di luar pemerintahan, tidak ada kader yang duduk di pemerintahan. Tapi tidak memutup untuk profesional partai ditarik dengan, syarat mereka tidak mewakili parpol koalisi," ujar Tantowi.
Tak satupun ada nama yang muncul untuk mengisi kursi menteri di kabinet Jokowi-JK, kata Tantowi, sebab ia melihat perbedaan haluan antara kubu Jokowi dengan Koalisi Merah Putih. Terkait dengan keputusan Jokowi untuk memasukan orang partai dan bukan sepenuhnya profesional, Tantowi menyebut itu memang tidak mungkin dilakukan.
"Akhirnya pak Jokowi sadar kalau dia tidak bisa membangun kabinet jika isinya profesional saja, karena menteri itu jabatan politik dan pasti bersentuhan dengan kegiatan kegiatan politik," ujar Tantowi.