Jakarta, CNN Indonesia -- Metode pemilihan jaksa agung yang selama ini sama dengan pemilihan menteri menuai kritik dari praktisi dan akademisi hukum. Mereka menganggap langkah kerja keduanya tidak sama, sehingga cara pemilihannya pun seharusnya tidak sama.
Kritik itu disampaikan dalam acara diskusi bertajuk "Polemik Calon Jaksa Agung asal Parpol" yang digagas oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Narasumber yang hadir yakni praktisi dan akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar, pensiunan Jaksa dan pengajar Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Chaerul Imam, dan Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (2/11).
"Mulai Bung Karno sampai sekarang sama caranya. Kenapa harus sama? Padahal pola kerja jaksa agung dan menteri itu beda," ucap Chaerul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang bekerja di lingkungan kejaksaan selama 38 tahun itu, menilai gerak langkah menteri selama ini bersifat politis, sedangkan jaksa tidak melakukan politik hukum.
"Jaksa melaksanakan protokol penegakan hukum. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan sidang, sampai eksekusi. Dari sini sudah kelihatan bahwa kerja jaksa agung dan menteri itu beda," tutur dia.
Sedangkan menteri, menurut Chaerul, pada tataran teknis yang bakal bekerja adalah para direktur jenderal (Dirjen).
"Misalnya program swasembada beras, yang bekerja mencari beras terbaik yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan sebagainya itu Dirjen, bukan menteri. Dirjen bekerja pada tataran teknis," ucap dia.
Sementara jaksa agung, kata Chaerul, gerak langkahnya sangat teknis. "Eselon satu itu staf, dia bukan
decision maker," kata dia.
Chaerul menegaskan, seorang jaksa agung harus tahu anatomi kejaksaan dan penegakan hukum. "Ada jaksa agung yang tidak tahu KUHAP, yang kelabakan ini staf dan jaksa-jaksanya. Jadi harus tahu seluk-beluk penegakan hukum, mulai pengumpulan data, bahan keterangan, penyelidikan, penyidikan, harus di dalam otak. Jaksa Agung harus tahu kultur kejaksaan. Kalau tidak tahu, dia akan payah juga," tutur Chaerul.
Abdul sepakat dengan pendapat Chaerul. Ia menambahkan, jaksa agung itu bagian dari kabinet pemerintah atau rezim seperti yang disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang mengatakan bahwa jaksa agung adalah lembaga pemerintahan yang menjalankan kekuasaan penuntutan.
"Dia (jaksa agung) punya kewenangan penuntutan dan penyelidikan di ranah yurisidis. Di satu sisi, dia bagian dari pemerintah atau eksekutif, dan di sisi lain dia yudikatif," ujar Abdul.
Ia berpandangan yang pantas menduduki posisi jaksa agung nantinya ialah orang yang bisa menjalankan kombinasi kedua sisi tersebut.
"Posisi yang sangat teknis penegakan hukum, makan yang bisa mengisi pos itu adalah penegak hukum, yakni hakim jaksa atau pengacara atau
advocate," papar Abdul.
Presiden Joko Widodo akan segera mengangkat jaksa agung baru pengganti Basrief Arief yang pensiun. Para pengamat berpendapat presiden harus sangat hati-hati dalam memilih jaksa agung.
Sejumlah nama calon jaksa agung mengemuka, antara lain politisi dari Partai Nasional Demokrat, HM Prasetyo (mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum), Marwan Effendy (mantan Jaksa Agung Muda Pengawasan), M Yusuf (Ketua PPATK), dan R Widyo Pramono (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus).
Saat ini, Kejaksaan Agung dipimpin oleh Andhi Nirwanto, Wakil Jaksa Agung yang merangkap jabatan sebagai orang nomor satu di sana.