Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Jakarta Agung Laksono menyebut ada sejumlah tokoh yang meminta Presiden Joko Widodo mengintervensi Golkar. Bentuk intervensi yang diminta adalah agar Jokowi meminta pengurus Golkar kubu Agung dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membatalkan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Hal ini jelas disayangkan Agung. Menurutnya, hal ini tidak patut dilakukan. Agung menolak menyebut nama saat ditanya siapa yang meminta Jokowi mengintervensi Golkar.
"Tidak perlu disebut siapa tokohnya," kata Agung di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Rabu (20/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agung yakin, meski terus diminta untuk mengintervensi, Jokowi tidak akan memenuhi permintaan tersebut. Alih-alih mengintervensi, Presiden menurutnya akan mengedepankan proses hukum yang diambil. (Baca juga:
Menkopolhukam: Pemerintah Tak Intervensi Sengketa Golkar)
"Pak Presiden mengerti dan menghargai hak-hak hukum siapapun termasuk hak hukum pemerintah sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, kubu Agung menyatakan akan mengajukan banding atas putusan PTUN yang membatalkan surat keputusan Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Golkar kubu mereka.
Banding juga diajukan Kemenkumham atas putusan tersebut. Kepala Biro Humas dan Kerja sama Luar Negeri Ferdinand Siagiaan mengatakan Menkumham Yasonna Laoly akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta soal sengketa kepengurusan Golkar.
Kemenkumham kini tengah mempelajari putusan PTUN yang dibacakan Hakim Teguh Setya Bhakti, Senin (18/5). Usai merumuskan memori banding, gugatan perlawanan bakal dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. (Simak FOKUS:
Siapa Berhak Pimpin Golkar?)
Dalam putusan, Hakim Ketua Teguh Setya Bhakti menyebut Agung Laksono, sebagai tergugat intervensi, telah memaksakan kehendak dengan cara mengajukan surat keputusan sepihak mengenai AD/ART dan kepengurusan Partai Golkar tanpa melakukan pembenahan terlebih dahulu di internal partai.
Sementera Menkumham Yasonna dinilai telah dibiarkan menafsirkan keputusan Mahkamah Partai yang belum final dan mengikat. Hal ini bisa dianggap sebagai perbuatan tercela tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan politik. (Baca juga:
Menkumham Ajukan Banding Putusan PTUN Soal Golkar)
Dalam Surat Keputusan Menkumham tertanggal 23 Maret 2011 yang mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung, Yasonna beralasan, kebijakan diambil sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar nomor 01/P1-GOLKAR/III/2015 nomor 02/P1-GOLKAR/III/2015 dan nomor 03/P1-GOLKAR/III/2015. Mahkamah Partai mengabulkan untuk menerima kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono.
(sur)