Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan partainya tak menyetujui begitu saja dana aspirasi Rp 11,2 triliun yang aturannya telah disetujui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI, Selasa (23/6). (Baca:
DPR Resmi Setujui Revisi UU KPK dan Dana Aspirasi)
SBY membantah Fraksi Demokrat DPR yang dipimpin putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono, mengambil posisi tak segaris dengannya selaku Ketua Umum. Untuk itu SBY meluruskan pandangan tersebut lewat kicauan di akun Twitter-nya, @SBYudhoyono.
“Perlu saya tegaskan, sikap Partai Demokrat tetap tidak setuju jika dana aspirasi tersebut diartikan sebagai ‘jatah anggaran’ anggota DPR untuk daerah pemilihannya,” kata SBY.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Dulu, sebagai presiden saya tolak ‘jatah anggaran’ seperti itu karena ada lima hal yang tidak tepat dan rawan, mengait ke sistem APBN dan APBD kita,” ujar SBY. (Baca juga
Restu Jokowi: Penentu Lolos Tidaknya Dana Aspirasi Rp 11,2 T)
Lima hal tersebut berkaitan dengan sistem, aturan main, dan tata kelola pemerintahan. Jika kelima hal yang dikritisi SBY itu belum juga bisa dijawab oleh SBY dan pemerintahan, maka dia menganggap dana aspirasi tetap tak tepat.
Pertama, menurut SBY, harus jelas bagaimana meletakkan ‘titipan’ dana aspirasi dalam sistem APBD dan APBD agar klop dan tidak bertentangan dengan rencana pemerintah daerah setempat.
“Ingat, ABPN direncanakan dan disiapkan dengan proses ‘dari atas’ dan ‘dari bawah’ secara terpadu, bertahap, dan berlanjut. Maka di mana dana aspirasi ini bisa masuk?” kata SBY.
Kedua, mesti ada jaminan agar penggunaan dana aspirasi tidak tumpang tindih dengan anggaran daerah yang diinginkan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Ketiga, jika dana aspirasi hanya menjadi hal anggota DPR, bagaimana dengan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang mestinya lebih tahu konstituen di daerahnya dan lebih dekat ke daerah pemilihan?
“Kalau mereka (anggota DPRD) juga dapat dana aspirasi, betapa besar dana APBN dan APBD yang tidak berada di tangan eksekutif dalam perencanaannya. Betapa rumit dan kompleksnya perencanaan pembangunan karena eksekutif dan legislatif punya keinginan dan rencana sendiri,” ujar SBY.
Keempat, “Bila anggota DPR punya jatah dan kewenangan untuk menentukan sendiri proyek dan anggarannya, lantas apa bedanya eksekutif dan legislatif?”
Kelima, harus ada akutabilitas dan pengawasan atas dana aspirasi sekalipun dana tersebut tidak ‘dipegang’ sendiri oleh anggota DPR.
“Di era pemerintahan yang saya pimpin, saya tidak setuju dengan penggunaan dana aspirasi tersebut karena kelima hal itu belum jelas dan belum klop,” kata SBY.
 Aktivis Indonesia Coruption Watch (ICW) menggelar aksi menolak dana aspirasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (18/6). Mereka menganggap dana aspirasi sebagai pemborosan anggaran dan rawan diselewengkan untuk dana kampanye. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Dengan segala pertimbangan itu, SBY menyatakan posisi Fraksi Demokrat baru sebatas setuju untuk membahas seperti apa arah pembangunan di daerah pemilihan, bukan menyetujui jatah anggaran untuk anggota DPR.
“Tidak ada satu kata pun pernyataan Fraksi Partai Demokrat yang setuju dengan dana aspirasi. Sikap Fraksi Partai Demokrat tetap segaris dengan sikap saya,” ujar SBY.
Presiden RI keenam itu menegaskan partainya akan tetap menolak dana aspirasi selama DPR dan pemerintah tak bisa menjawab dan memenuhi lima faktor kritis yang ia sampaikan di atas.
“Sikap saya sebagai pimpinan Partai Demokrat terhadap dana aspirasi ini sama dengan ketegasan saya dulu untuk mempertahankan sistem pilkada langsung,” kata SBY.
Untuk merealisasikan dana aspirasi yang aturannya telah disetujui DPR kemarin, Rp 20 miliar rencananya akan dijadikan ‘jatah’ bagi setiap anggota DPR tiap tahunnya. Maka dengan total anggota DPR berjumlah 560 orang, dana sebesar Rp 11,2 triliun tengah diperjuangkan untuk masuk ke dalam APBN 2016 sebagai ‘bekal’ bagi anggota DPR dalam membangun daerah pemilihan mereka masing-masing.
Sementara sejumlah aktivis dan lembaga swadaya masyarakat menolak dana aspirasi karena dianggap sebagai bentuk pemborosan anggaran dan rawan diselewengkan sebagai dana kampanye.
(agk)