Jakarta, CNN Indonesia -- Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Johan mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang 'melegalkan' politik dinasti menyebabkan upaya pembenahan pemerintah daerah yang selama ini digagas Kementerian Dalam Negeri menjadi sia-sia.
"Upaya memperbaiki pemerintahan daerah tersandung di MK. Kami mengevaluasi pemda kurang lebih selama 10 tahun," ucap Johan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/7).
Ia mengatakan dasar dari dibuatnya pasal 7 huruf r dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada adalah untuk mengatur yang sifatnya membatasi sama seperti membatasi presiden hanya boleh menjabat sebanyak dua kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pasal 7 huruf r dijelaskan, yang dimaksud dengan konflik kepentingan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri ini menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang melanggengkan politik dinasti. Lewat satir, dirinya memberi ucapan selamat.
"Selamat berkembang biak politik dinasti di daerah kita. Upaya memperbaiki pemerintahan tersandung di kaki MK," kata Djohan.
Diskusi soal politik dinasti ini dihadiri juga oleh Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria dan ahli hukum tata negara Margarito Kamis. Djohermansyah memaparkan soal politik dinasti.
"Pada 2013, sudah 61 kepala daerah sudah menerapkan politik kekerabatan dinasti. Itu sama dengan 11 persen jumlah kepala daerah yang ada," kata Djohan.
Politik dinasti berpotensi mengakibatkan terjadinya nepotisme berwujud pewarisan jabatan ke "AMPI: Anak Menantu Ponakan Istri". Ini menimbulkan kerisauan, maka muncul lah UU Pilkada yang kini salah satu pasalnya malah dibatalkan MK.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menilai Mahkamah Konstitusi adalah malaikat karena selalu membuat keputusan yang mengejutkan.
"Namanya juga Malaikat Konstitusi (MK). Punya sudut pandang sendiri dan merasa putusannya paling konstitusional dan adil," ucap Riza.
Menurutnya, seharusnya pemerintah dapat membuat sistem karena ia menilai ada begitu banyak putra putri bangsa terbaik di Indonesia yang harus diberikan kesempatan untuk menjabat sebagai kepala daerah.
"Keberpihakan itu harus tertuang dalam sistem dan sistem itu diatur dalam undang-undang," tuturnya.
(pit)