Jakarta, CNN Indonesia -- Perombakan susunan menteri di Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK yang baru pertama kali dilakukan membawa dampak yang besar bagi Luhut Binsar Pandjaitan. Jenderal purnawirawan TNI yang menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan itu diamanahi tugas yang lebih besar dan berat.
Luhut dipercaya menduduki kursi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan menggantikan pejabat lama Tedjo Edhy Purdijatno. Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (12/8), mencopot Tedjo dari jabatannya dengan pertimbangan kinerja. (Baca:
Surya Paloh: Tedjo Paham Tak Harus Jadi Menteri)
Duduk di kursi menteri bukan sesuatu yang baru bagi Luhut. Pria kelahiran Simargala, Sumatera Utara, pada 28 September 1947, itu sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan Era Presiden Abdurrahman Wahid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berlatar belakang militer dan pernah duduk sebagai Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Luhut dianggap pantas menduduki jabatan Menko Bidang Politik Hukum dan Keamanan. Sebelum Kabinet Kerja dibentuk Jokowi pada Minggu (26/10/2014), Luhut sudah disebut-sebut sebagai sebagai calon kuat Menko Polhukam.
Pembina Relawan Bravo 5 Pendukung Jokowi-JK pada 2014 itu jauh sebelum Jokowi jadi Presiden sudah dikenal memiliki kedekatan dengan Jokowi. Bahkan Luhut sudah mengenal Jokowi dengan baik sebelum menjadi Wali Kota Solo. “Sebelum jadi wali kota Solo perusahaan furnitur Jokowi join dengan perusahaan Luhut yang memasok kayu,” kata Pengamat politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk kepada CNN Indonesia beberapa waktu lalu.
Meski memiliki segudang pengalaman di berbagai bidang, tugas tambahan Luhut sebagai Menko Polhukam tentunya tidak mudah karena mesti merangkap jabatan. Di kursi Kepala Staf Kepresidenan, Luhut memiliki tugas yang tidak enteng. Luhut bekerja memantau pengendalian program prioritas pembangunan nasional, mengelola isu-isu strategis, dan melakukan komunikasi politik dengan kalangan partai politik.
Pengamat politik Universitas Gajah Mada (UGM) Arie Sujito mengatakan jabatan Menko Polhukam dengan Kepala Staf Kepresidenan seharusnya tidak dijabat rangkap. “Presiden Jokowi mesti melepas posisi Luhut di Kantor Staf Kepresidenan,” kata Arie kepada CNN Indonesia, Rabu (12/8). (Baca:
Luhut: Jokowi Ingin Bentuk Tim Solid Agar Tak Babak Belur)
Menurut Arie jika Luhut tetap merangkap jabatan maka bakal menyulitkan kerjanya karena posisi Menko Polhukam adalah lintas kementerian. “Kalau dirangkap dengan Menko Polhukam terlalu berat. Bisa tidak konsentrasi dalam bekerja nantinya. Bisa memunculkan persoalan nanti,” ujar dia.
Arie menuturkan lebih baik Luhut memegang satu jabatan saja yaitu Menko Polhukam agar bisa konsentrasi menjalankan agenda-agenda Kemenko Polhukam yang banyak dan berat. “Banyak target yang harus dicapai oleh Kemenko Polhukam sesuai agenda yang sudah dicanangkan oleh Presiden,” tuturnya.
Dia menambahkan jabatan Kepala Staf Kepresidenan masih memungkinkan bila dirangkap dengan posisi Sekretaris Kabinet. (Baca:
Kepala Staf Presiden: Tetap Milik Luhut atau Beralih ke Pram?)
Namun sebaiknya, menurut Arie, jabatan Kepala Staf Kepresidenan dihilangkan sehingga cukup dengan adanya Seskab. “Cukup lembaganya Setkab seperti dulu,” ucap Arie.
(obs)