Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menegaskan tidak ada istilah referendum di balik putusan Mahkamah Konstitusi soal Pemilihan Kepala Daerah.
Alasanya, Zul menilai istilah referendum mengandung konotasi luas yang bisa ditafsirkan di luar dari konteks hasil putusan MK.
"Mana ada Pilkada referendum. Kita mesti hati-hati dalam menggunakan istilah," kata Zul di Kompleks Parlemen, Jakarta (30/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Zul, pada dasarnya putusan MK hanya menekankan persetujuan "iya" atau "tidak" dalam menentukan pasangan calon tunggal di daerah. Dengan kata lain, keputusan terhadap calon tunggal nantinya tidak perlu melalui mekanisme jajak pendapat sebagaima yang terjadi dalam referendum.
Sebagai Ketua MPR, Zul menerima putusan MK terhadap aturan Pilkada tersebut. Namun secara pribadi, Zul satu pandangan dengan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang menyatakan disenting opinion dalam putusan.
Dalam hal ini, Zul tetap menekankan bahwa Pilkada seharusnya menjadi ajang kontestasi dua pasangan calon untuk memperebutkan kursi kepala daerah.
Patrialis Akbar memiliki pandangan berbeda dengan delapan hakim lainnya. Dia menilai Pilkada bukan merupakan referendum tapi pilihan dari beberapa pilihan.
"Jika dibenarkan adanya calon tunggal, MK sudah melebihi kewenangan dari pembuat undang-undang," kata Patrialis
Dengan tidak terpenuhinya minimal dua pasangan calon dalam pilkada di satu daerah, kata Patrialis, sudah menjadi tanggung jawab dari partai politik karena tidak bisa menjalakan fungsi utamanya dalam hal rekrutmen politik.
(meg)