Jakarta, CNN Indonesia -- Revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bangkit kembali untuk dimasukan ke program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Juni lalu, revisi tersebut juga telah masuk dalam Prolegnas prioritas 2015 yang diputuskan melalui rapat Badan Legislasi DPR bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Saat itu, Yasonna menilai RUU KPK perlu dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2015 karena UU KPK yang berlaku saat ini, dapat menimbulkan masalah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. "Perlu dilakukan peninjauan kembali seperti penyadapan yang tidak melanggar HAM, dibentuk dewan pengawas, pelaksanaan tugas pimpinan, dan sistem kolektif kolegial," ujar Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/6).
Hal tersebut diperkuat oleh Ketua DPR Setya Novanto yang saat itu mengaku Menkumham Yasonna Laoly sudah menyampaikan naskah akademisnya dan tinggal menunggu surat presiden dibacakan di rapat paripurna. "Kita sudah terima naskahnya dan nanti setelah dibacakan di paripurna akan dilanjutkan dengan memberikan berkas tersebut ke komisi terkait untuk secepatnya dibahas," kata Setya, Rabu (17/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada akhirnya, saat rapat paripurna, Ketua Baleg Sareh Wiyono mengatakan Baleg menyetujui usulan pemerintah yang meminta revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015 menggantikan revisi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah.
Sareh mengungkapkan sebenarnya Baleg tidak menyetujuinya lantaran revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah 2014-2019 dan memiliki urutan nomor 63. Namun, Sareh mengatakan desakan Menkumham yang mengatakan revisi UU KPK genting maka DPR akhirnya menyetujui revisi tersebut masuk Prolegnas Prioritas 2015. Pada rapat paripurna itu pun, semua anggota menyetujuinya. "Akhirnya Baleg dapat menyetujui usulan tersebut dan meminta pada pemerintah untuk tidak menarik kembali usulan RUU tersebut karena penambahan atau penggantian RUU prioritas harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPR RI," kata Sareh di ruang paripurna, Selasa (23/6)
Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki mengungkapkan, Presiden Joko Widodo menolak rencana dan usul revisi Undang-Undang KPK. Penolakan dilakukan karena Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, namun KPK akan tetap membantu mengawasi. "Pesan Presiden untuk KPK, Kejaksaan, dan Polri bekerja secara sinergi, tetapi yang paling menggembiarakan, dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan Presiden melemahkan KPK. Oleh karena itu, revisi UU KPK, Presiden menolak," ujar Ruki dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (19/6).
Penegasan disampaikan pihak istana melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas tidak berniat untuk merevisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). "Jadi Bapak Presiden itu tidak ada niatan untuk merevisi UU KPK," ujar Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (25/6).
Menurut Pratikno, justru Presiden ingin fokus dalam merevisi UU KUHP dan KUHAP yang memang sudah menjadi agenda sejak lama, sehingga harus segera diprioritaskan. Setelah itu persoalan revisi UU KPK menguap baik di parlemen maupun di pemerintahan.
Dalih MasintonSalah satu inisiator revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Masinton Pasaribu mengaku draf usulan Dewan Perwakilan Rakyat yang kini tengah beredar dan telah dilakukan pembahasan awal di Baleg kemarin, merupakan susunan pemerintah.
Masinton menjelaskan draft tersebut telah digodok pemerintah sebelum Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk menolak revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. "Dari sebelum Pak Presiden bilang jangan dulu," kata Masinton di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (7/10).
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga mengakui bahwa draf versi DPR merupakan 'pendalaman' dan 'penyesuaian' dari draf milik pemerintah. "Ya, yang sekarang sama, tapi kita dalami. Tidak sama persis, kita sesuaikan," ujarnya.
Begitupula dengan pasal-pasal yang memuat pembatasan masa kerja KPK dan pemangkasan kewenangan komisi anti rasuah seperti penyadapan serta penanganan jumlah kerugian negara yang bisa ditangani sebatas Rp 50 miliar keatas. "Kayaknya masih draft yang lama. Sebelumnya juga gitu," ungkapnya.
Sejumlah alasan ia beberkan terkait revisi ini. Ia menilai semangat revisi UU KPK semangatnya adalah melakukan penataan dan pembenahan dalam sisi penegakan hukum. Ia menjelaskan tujuan dari revisi UU KPK adalah untuk mereposisi dan mereformulasi fungsi-fungsi penegakan hukum di Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi. "Nah saya sebagai salah satu inisator semangat saya di sana," ungkap masinton di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (7/10).
Masinton mengungkapkan alasan 12 tahun, karena merupakan bagian fase transisi untuk penataan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan. "Ketika sekarang ini sudah 17 tahun berjalan reformasi, kita kan juga harus memperkuat fungsi penegakan hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Nah KPK juga masih kita butuhkan dalam 12 tahun ke depan, sembari memperkuat fungsi pemberantasan korupsi pada kejaksaan dan kepolisian," ujar Masinton.
Meski demikian, Masinton mengaku ketika fungsi pemberantasan korupsi tidak bisa diperankan oleh polisi dan jaksa secara efektif, maka akan dimungkinkan untuk melakukan revisi kembali dan bila perlu dipermanenkan.
Selain itu, urgensi revisi UU KPK di Prolegnas prioritas 2015, diakuinya agar saat proses delapan capim KPK di uji kepatutan dan kelayakan yang digelar DPR telah menghasilkan nama-nama pimpinan baru dan disetujui Presiden, maka pimpinan yang terpilih nanti sudah bisa mengikuti UU hasil revisi dalam menjalankan sistem di KPK.
Saat ini, Badan Legislasi DPR belum menyepakati usulan dua rancangan undang-undang yakni revisi atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU Pengampunan Nasional untuk dapat dibahas serta dimasukan dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas 2015. Pembahasan akan berlanjut Senin pekan depan.