Jakarta, CNN Indonesia -- Penelitian dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengungkap bahwa laporan dana kampanye calon kepala daerah yang akan berebut kursi kekuasaan dalam Pilkada serentak tidak transparan.
JPPR melakukan pemantauan pelaporan dana kampanye terhadap 27 pasangan calon di sembilan daerah, yakni: Tangerang Selatan, Depok, Jember, Semarang, Palu, Maros, Seluma, Balikpapan, dan Bantul.
Koordinator Nasional JPPR Masykurudin Hafidz mengatakan pihaknya melakukan pengecekan antara Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dengan realitas yang ada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun, LPPDK adalah pembukuan yang memuat seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pasangan calon. Laporan ini menyajikan semua penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dalam bentuk uang, barang, dan jasa yang penyajian laporannya menggunakan pendekatan aktivitas yang dilaporkan oleh pasangan calon paling lambat satu hari setelah masa kampanye berakhir.
"Dari aspek kepatuhan laporan LPPDK, ada dua pasangan calon dari Jember yang terlambat mengumpulkan laporan dana kampanye. Sesuai dengan aturan yang ada, mereka seharusnya didiskualifikasi, tetapi ternyata hal itu tidak dilakukan," kata Masykurudin saat konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (8/12).
JPPR juga menemukan kejanggalan dalam laporan dana kampanye. Ada tiga pasangan calon di mana saldo awal dan saldo akhir yang dilaporkan mempunyai jumlah yang sama. Masykurudin menilai ini sebagai bukti tidak transparannya calon kepala daerah terhadap pendanaan kampanye.
"Pelaporan dana kampanye hanya dianggap untuk memenuhi syarat. Dan KPU juga tidak melakukan audit lebih jauh terkait laporan dana kampanye tersebut," katanya.
Selain itu, Manajer Pemantauan JPPR Muhammad Zaid mengatakan pihaknya juga melakukan penghitungan langsung ke lapangan soal dana kampanye pasangan calon tersebut.
"Kami menghitung berdasarkan harga pasaran. Misalnya mereka menggunakan spanduk dalam kampanye atau mengundang musisi, itu kami hitung harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasaran," kata Zaid.
Faktanya, kata Zaid, ditemukan kasus di mana besaran pengeluaran dari hasil pemantauan ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai dalam laporan yang diserahkan pasangan calon.
Pasangan calon atas nama Habsa Yanti Ponulele dari daerah Palu, misalnya, melaporkan pengeluarannya sebesar sekitar Rp 500 juta. Namun, berdasarkan pemantauan JPPR, pengeluaran yang sebenarnya berkisar Rp 2 miliar.
"Pasangan ini pada hari-hari terakhir kampanye mengadakan acara mewah dengan mengundang band Inggris yang dulu pernah diundang Jokowi-JK saat kampanye," katanya.
JPPR mencatat ada delapan calon yang memberikan laporan pengeluaran lebih kecil dibandingkan hasil pemantauan JPPR, yaitu: Suharsono dari Banten dengan selisih Rp 293.941.072, Dimas Oky Nugroho dari Depok dengan selisih Rp 379.138.500, Sugiarto dari Jember dengan selisih Rp 766.050.000, dan Hendrar Prihadi alias Hendi dari Semarang dengan selisih Rp 348.699.600.
Empat nama lainnya berasal dari Palu, di antaranya: Hidayat dengan selisih Rp 462.507.000, Mulhanan Tombolotutu dengan selisih Rp 7.344.500, Hadianto Rasyid dengan selisih Rp 389.767.069, dan Habsa Yanti Ponulele dengan selisih Rp 1.927.358.283.
Selain itu, JPPR juga menemukan pasangan calon yang mengeluarkan biaya pengerahan massa lebih tinggi dibadingkan yang ditentukan, yaitu sebesar Rp 25 ribu. Ditemukan bahwa pengerahan massa oleh beberapa calon menggunakan dana sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu per orang.
"Penelitian ini juga mengungkap bahwa pengeluaran calon yang paling besar adalah untuk bertemu dengan pemilih. Ini juga dapat bersifat transaksional. Saat masa tenang, pergerakan mempengaruhi pemilih untuk memilih calon tertentu tinggi tetapi terselubung," katanya.
(obs)