WAWANCARA KHUSUS

Akbar Tandjung: Saya Menentang Keputusan Gus Dur (3)

Anggi Kusumadewi, Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Sabtu, 16 Jan 2016 16:55 WIB
Akbar dan Golkar tak bisa dipisahkan. Tahun 2001, kala Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan Golkar, Akbar bereaksi keras. Gus Dur akhirnya jatuh.
Akbar Tandjung (berkemeja hijau) ketika menghadiri peringatan wafat atau haul keenam Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, 26 Desember 2015. (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)
Jakarta, CNN Indonesia -- Akbar Tandjung dan Golkar tak bisa dipisahkan. Bergabung dengan Golkar saat berumur 29 tahun, Akbar hingga usia 70 tahun kini masih aktif berupaya menjembatani konflik internal partai itu. Lebih dari 40 tahun masa hidupnya dihabiskan Akbar mengurusi Golkar, partai “warisan” Orde Baru yang kini dibelit perpecahan.

Di sela kesibukannya menerima tamu tokoh-tokoh Golkar, Akbar berkisah kepada wartawan CNNIndonesia.com, Anggi Kusumadewi dan Abi Sarwanto, tentang awal mula ia bergabung dengan Golkar (pada bagian 1 wawancara), bagaimana ia terpilih menjadi ketua umum partai itu di masa transisi, “perseteruan” dia dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, hingga kekecewaannya pada Golkar.
Berikut petikan wawancaranya.

Anda terpilih menjadi Ketua Umum Golkar pada masa Reformasi. Bagaimana kondisinya saat itu?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjelang Pemilu 1999, tepatnya Juli 1988, Golkar mengadakan Musawarah Nasional Luar Biasa karena di internal kami terjadi kemelut dan intrik terkait sikap Dewan Pimpinan Pusat Golkar di bawah Pak Harmoko sehingga beliau perlu diminta pertanggungjawaban selaku Ketua Umum Golkar dan Ketua MPR/DPR. Perlu langkah-langkah politik melalui Munaslub.

Kemelut Golkar saat itu terkait mundurnya Soeharto sebagai presiden. Adalah Harmoko, Ketua MPR/DPR sekaligus Ketua Umum Golkar, yang meminta Soeharto mundur dari jabatan presiden. Harmoko dinilai sebagian kader tak loyal dan tak layak menjadi Ketua Umum Golkar karena membuat kebijakan tanpa sepengetahuan Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar.

Dalam Munaslub 1988 itu, saya terpiliih menjadi Ketua Umum. Kompetitor saya saat itu Edi Sudradjat. Pak Edi mantan Menkopolkam, mantan Menhan, mantan Panglima ABRI, mantan KSAD. Saya mantan Ketua Umum HMI, KNPI, mantan menteri. Kami berkompetisi dalam Munas Luar Biasa melalui pemilihan langsung. Saya menang.

Golkar berubah menjadi partai pada deklarasi 7 Maret 1999 menjelang pemilu. Dulu pun (di masa Orde Baru) Golkar punya fungsi-fungsi yang sama seperti partai, tapi tidak secara formal menyebut diri Partai Golkar.

Saat itu, sejalan dengan demokratisasi di era Reformasi, banyak partai politik berdiri. Tak kurang ada 150 parpol baru, karena memang tak ada kekuatan politik tanpa parpol sebagai badan hukum. Tapi yang lolos seleksi KPU 48 partai.

Golkar ikut berkompetisi secara terbuka dalam pemilu. Situasi amat berat. Hujatan dan intimidasi bertubi-tubi diterima Golkar. Terjadi perusakan kantor-kantor dan aset Golkar. Muara dari semua itu intinya ingin membubarkan Golkar.

Tapi di tengah tekanan itu, kami bisa meraih kemenangan nomor dua. Nomor satu PDIP dengan 151 kursi, nomor dua Golkar dengan 120 kursi –setara dengan 2,3 juta lebih pemilih.

Pemilu berikutnya, 2004, tekanan terus datang. Golkar memperkuat basis politik di tanah air, meyakinkan publik bahwa kami mengusung demokrasi, reformasi, kerayatan, dan tentu paradigma antikorupsi.

Saat itu Anda sudah jadi Ketua DPR

Ya, dan saat itu (tahun 2000-2001) terjadi polarisasi antara DPR dan Gus Dur dipicu kasus Buloggate dan Bruneigate.

Kasus Buloggate bermula pada Mei 2000, saat Badan Urusan Logistik (Bulog) melapor ada dana hilang dari kasnya. Dalam perkara yang dinilai kental nuansa politis ini, Gus Dur dituding lawan politiknya terlibat. Sementara kasus Bruneigate terkait penyaluran dana sumbangan dari Sultan Brunei.

Ketegangan DPR dan pemerintah meningkat karena Gus Dur memecat menteri dari PDIP dan Golkar, Laksamana Sukardi dan Pak Jusuf Kalla. Terjadi eskalasi konflik antardua lembaga. Secara tidak langsung jadi konflik antara Golkar-PDIP dan partai-partai pendukung Gus Dur, terutama PKB.

Kekuatan utama DPR saat itu PDIP dan Golkar. DPR mengajukan memorandum kepada Gus Dur sehingga Gus Dur dan DPR head to head. Dalam memorandum itu, Gus Dur dinyatakan telah menggar Pasal 9 Undang-Undang Dasar 1945 terkait sumpah jabatan.

Memorandum keluar, digelar Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Gus Dur yang mengarah ke impeachment.

Melihat situasi semakin sulit, Gus Dur mengambil keputusan memberlakukan dekrit. Saya sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar segera mengambil langkah menentang putusan Gus Dur.

Isi dekrit yang diberlakukan Gus Dur ketika itu ialah membubarkan MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Partai Golkar.

Dalam kapasitas sebagai Ketua DPR, saya kirim surat ke Mahkamah Agung untuk minta fatwa hukum atas dekrit atau maklumat pembubaran DPR dan Partai Golkar itu. Agar respons MA bisa cepat, saya komunikasi dengan Ketua MA Bagir Manan.

Malam itu juga usai Gus Dur mengeluarkan dekrit, sekitar jam 23.00 atau 24.00, saya langsung bereaksi sebagai Ketua Umum Golkar, menggelar konferensi pers menentang putusan Gus Dur tentang dekrit yang bertentangan dengan konstitusi dan hukum.

Saya sampaikan penolakan itu secara terbuka, dan untuk memformalkannya mengirim surat ke Ketua MA malam itu juga. Saya menelepon Pak Bagir Manan, “Pak Bagir, surat yang kami kirim tolong jadi perhatian MA untuk dapat segera direspons.”

Alhamdulillah, Pak Bagir Manan segera merespons surat yang kami kirim dengan mengundang hakim-hakim agung malam itu juga.

Jam 07.00 pagi, kami sudah mendapatkan hasil fatwa hukum MA. Rapat hakim-hakim agung intinya memutuskan tindakan Gus Dur membekukan DPR dan membubarkan organisasi politik (Golkar) bertentangan dengan konstitusi.

Maka MPR mulai menggelar Sidang Istimewa, menjadikan fatwa hukum MA sebagai dasar untuk meng-impeach Gus Dur. Megawati kemudian naik, dilantik jadi presiden.

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (kanan). (Dok. Jane Luyke/Repro)
Saya terus konsolidasikan Golkar dengan keliling Indonesia, membangun partai dengan semangat dan paradigma baru reformasi serta kemandirian.

Kami juga melakukan inovasi dengan mengintroduksi konvensi dalam khazanah perpolitikan tanah air. Konvensi ini untuk memilih calon presiden dari internal partai.

Tapi Golkar saat ini tidak meneruskan konvensi yang Anda inisiasi?

Ya karena itu bolehlah saya dikatakan kecewa. Kenapa tidak bisa diteruskan? Itu bagus untuk rekrutmen kepemimpinan. Fungsi partai kan menyiapkan kader untuk mengisi berbagai posisi dalam kepemimpinan politik.

Seharusnya spirit konvensi harus bisa mewarnai sistem rekrutmen partai, terutama Golkar. Untuk jadi calon presiden, calon bupati dan wali kota, pakai konvensi.
Simak lanjutan wawancara Akbar Tandjung pada bagian berikutnya.
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER