Jakarta, CNN Indonesia -- Akbar Tandjung yang berhasil menyelamatkan Golkar dari ancaman dibubarkan pada masa transisi Orde Baru ke Reformasi, kini di usianya yang tak lagi muda justru mesti melihat para penerusnya bertikai.
Perseteruan antara dua kubu –hasil Musyawarah Nasional Bali di bawah Aburizal Bakrie dan Munas Ancol di bawah Agung Laksono– tak juga berakhir, malah kian berlarut.
Di rumahnya, Akbar kerap menerima tokoh-tokoh Golkar yang bimbang dengan kondisi internal partai mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis
The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi itu berupaya mencari solusi. Namun sarannya justru berbuah teguran dari kubu Munas Bali di mana ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan.
Akbar menceritakan kecemasannya tentang masa depan Golkar kepada wartawan CNNIndonesia.com, Anggi Kusumadewi dan Abi Sarwanto, yang datang bertandang belum lama ini. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang Anda pikirkan tentang Golkar saat ini?
Saya khawatir dan sedih dengan Golkar. Padahal Golkar pada awal Reformasi menghadapi cobaan berat dan bisa menghadapinya. Lolos. Menang pemilu lagi.
Sekarang saya prihatin. Ini di luar dugaan, di luar harapan.
Awalya konflik bermula akhir 2014, saat persiapan Musyawarah Nasional Bali. Agung Laksono, termasuk Dewan Pertimbangan Partai, menghendaki Munas digelar tahun 2015 sesuai rekomendasi Munas Riau 2009.
Saya pada sikap yang sama (dengan Agung). Sudah sempat Dewan Pimpinan Pusat pimpinan Aburizal Bakrie menyetujui, tapi berubah pada satu pertemuan. Munas dipercepat jadi 20 November 2014.
Di situlah Agung dan kawan-kawan menolak sampai akhirnya membentuk TPPG (Tim Penyelamat Partai Golkar). Terjadi konflik terbuka.
Agung tak ikut Munas Bali, konsolidasi, mengadakan munas sendiri di Ancol, dan melapor ke Menkumham. Masuk pengadilan. Konflik dan gugat-menggugat makin tajam, balas-berbalas.
Kepemimpinan Golkar vakum pascakeputusan Menkumham mencabut pengesahan kepengurusan Munas Ancol. Golkar tak punya
legal standing.
Saya sudah bertemu Menkumham. Saya tanya, “Kenapa kau cabut kepengurusan Munas Ancol tapi kok Munas Bali tak kau disahkan?”
Dia menjawab, “Tidak ada perintah. Perintah Mahkamah Agung hanya mencabut Munas Ancol, tak ada perintah mengabsahkan Munas Bali. Jadi aku tak keluarkan.”
Putusan MA menetapkan untuk mengembalikan kepengurusan Golkar ke hasil Munas Riau 2009.Tapi Sekjen Kelompok Bali sudah kirim surat ke Menkumham minta disahkan. Tunggu saja.
Saya mendorong Munas bersama. Tapi pertemuan Dewan Pimpinan Pusat dan Dewan Pimpinan Daerah I Tingkat Provinsi Munas Bali memutuskan untuk meneruskan amanat Munas Bali, menyepakati tak ada Munas sampai 2019, meminta Menkumham mengeluarkan Surat Keputusan pengesahan Munas Bali, segera menggelar Rapat Pimpinan Nasional untuk memutuskan sikap apakah bergabung dengan pemerintah, dan menegur Ketua Dewan Pertimbangan Golkar –saya.
Tapi Dewan Pertimbangan merupakan institusi resmi hasil Munas yang berfungsi memberi saran penting dan strategis kepada partai, diminta atau tidak. Itu hak kami.
 Akbar Tandjung dan Aburizal Bakrie kala Munas Bali November 2014. Meski Akbar menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Golkar kubu Bali, hubungannya dengan Aburizal tak selalu harmonis. (ANTARA/Nyoman Budhiana) |
Satu-satunya unsur Golkar yang masih memiliki
legal standing sesuai Undang-Undang Partai Politik ialah Mahkamah Partai. MPG akan banyak menentukan penyelesaian konflik Golkar.
MPG –Muladi, Djasri Marin, dan Andi Mattalatta– telah memutuskan untuk membentuk Tim Transisi yang rencananya diketuai Jusuf Kalla dengan BJ Habibie sebagai pelindung, dan beranggotakan Agung Laksono, Aburizal Bakrie, Ginandjar Kartasasmita, Emil Salim, Abdul Latief, Siswono Yudo Husodo, Akbar Tandjung, Theo L. Sambuaga, dan Sumarsono.Terlihat bahwa mayoritas anggota Tim Transisi dirancang terdiri dari politikus senior Golkar. Meski demikian putusan MPG membentuk Tim Transisi belum tentu mulus, sebab sidang MPG terkait pembentukan Tim Transisi itu tak dihadiri loyalis Aburizal Bakrie dari kubu Munas Bali.Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Umum Golkar Munas Bali, mengatakan tak menerima undangan MPG. Ia pun meragukan sidang MPG itu karena menurut SK DPP Golkar kubunya, keanggotaan MPG telah berubah dengan dia sendiri sebagai ketua; Nurdin Halid selaku wakil; dan Rudy Alfonso, Freddy Latumahina, Syamsul Huda, Dorel Amir, dan Dewi Asmara sebagai anggota.
Seberapa besar pengaruh konflik internal ini bagi Golkar?Perolehan suara Golkar turun amat tajam di pilkada. Calon kepala daerah asal Golkar sulit mendapat dukungan kedua kubu secara bersamaan.
Saat saya berkampanye di kampung saya di Sibolga Sumatra Utara, calon
incumbent Syafri Hutauruk didukung kubu Bali, tapi tidak didukung kubu Ancol. Banyak fenomena seperti itu.
Saya tetap kampanye buat Syafri karena dia bagus. Alhamdulillah menang. Tapi dari 116 dari total 269 pilkada yang diikuti Golkar, yang masuk kategori menang hanya di 49 pilkada. Tapi itu pun karena ada dukungan dari partai-partai lain. Jadi tidak bisa mengklaim kemenangan Golkar.
Bahkan ada beberapa lembaga survei yang menyurvei terkait persepsi publik, saat melontarkan pertanyaan “Seandainya pemilihan umum sekarang, memilih partai apa”, responden yang memilih Golkar presentasinya hanya 7-8 persen.
Padahal pada pemilu terakhir tahun 2014, Golkar masih dapat 14 persen atau 91 kursi DPR. Jadi kalau pemilu dilakukan sekarang dan Golkar dapat 7-8 suara, kalau dikonversi ke kursi DPR hanya dapat 45. Terjadi penurunan.
Dari hasil pemilu ke pemilu, pada Pemilu 1999 Golkar menang nomor dua dengan 120 kursi DPR; Pemilu 2004 Golkar menang nomor satu dengan 128 kursi DPR; Pemilu 2009 saat Pak JK turun ketua umum, Golkar dapat 14,5 persen dengan 106 kursi DPR; Pemilu 2014 di masa Aburizal Bakrie, Golkar hanya dapat 91 kursi DPR.
Kalau pemilu lagi, bisa dibayangkan. Bisa terjadi betul Golkar tak masuk kategori partai papan atas. Papan menengah pun bukan.
Siapa yang Anda pikir paling tepat memimpin Golkar di masa genting ini?Kader Golkar yang ada di DPR, yang aktif di struktur partai, berpengalaman, dan punya rekam jejak baik.
(agk)