Pemerintah Ungkap Poin Krusial Revisi UU Antiterorisme

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Senin, 15 Feb 2016 15:43 WIB
Revisi UU Antiterorisme mengatur soal pemberian atau penyumbangan harta benda, kekayaan untuk kegiatan, keperluan, dan kepentingan kelompok radikal terorisme.
Ilustrasi. (Thinkstock/fergregory)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Agung Prasetyo mengungkapkan hal-hal yang menjadi perhatian pemerintah atas rencana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Prasetyo, UU Antiterorisme yang sekarang masih belum mengakomodasi penanggulangan terorisme di Indonesia.

Hal itu dia sampaikan dalam rapat kerja gabungan pemerintah, Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum DPR RI. Salah satu agenda rapat adalah penanggulangan terorisme di Indonesia, pasca insiden terorisme di Thamrin, Jakarta pada 14 Januari 2016.

Prasetyo menekankan ada kategorisasi baru tindak pidana terorisme yang diperlukan dalam UU Antiterorisme yang akan direvisi. Mulai dari larangan masuknya ke Indonesia barang potensial sebagai bahan peledak, serta memperdagangkan senjata kimia, biologi, radiologi, tenaga nuklir serta zat radioaktif untuk melakukan tindak pidana terorisme.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Termasuk memperjualbelikan atau memperdagangkan bahal potensial sebagai bahan peledak untuk kepentingan radikalisme," kata Prasetyo di Ruang Rapat Banggar DPR RI, Jakarta, Senin (15/2).

UU Antiterorisme juga akan melarang warga Indonesia melakukan hubungan dengan orang atau kelompok radikal tertentu di luar negeri untuk melakukan tindak terorisme.

"Selama ini, ketika ada organisasi yang mengirimkan anggotanya ke luar negeri untuk bergabung dengan tindakan yang diduga terorisme di luar negeri pun masih belum bisa dijangkau dengan undang-undang yang ada," ujarnya

Pemerintah juga melarang latihan militer di luar negeri atau dengan organisasi radikalisme untuk mempersiapkan tindak pidana terorisme di Indonesia atau negara lain. Ada juga larangan melakukan hubungan baik secara langsung atau tidak langsung dengan kelompok radikalisme.

Larangan lainnya, lanjut Prasetyo, yaitu menganut dan mengembangkan ajaran ideologi radikalime terorisme ke orang lain. Undang-undang ini akan mengatur larangan bergabung atau mengajak bergabung dan perekrutan ke kelompok radikal terorisme.

"Juga berkaitan dengana pengiriman orang lain untuk bergabung dengan kelompok radikal terorisme," ucapnya.

Hal terkait pemberian atau penyumbangan harta benda kekayaan untuk kegiatan, keperluan dan kepentingan kelompok radikal terorisme juga diatur di rancangan revisi ini.

UU ini bakal melarang membantu mempersiapkan kegiatan kelompol radikal terorisme, dan kekerasan, mengancam dan memaksa orang atau kelompok untuk bergabung dengan kelompok radikal terorisme.

Tak hanya itu, kata Prasetyo, persoalan penahanan juga menjadi hal yang disorot dalam proses revisi. Prasetyo mengatakan, waktu penahanan dapat diatur lebih longgar sehingga aparat penegak hukum dapat lebih maksimal dalam meneliti berkas perkara.

Saat ini, Kepolisian dapat melakukan penahanan selama 20 hari terkait pembuktian tindak pidana terorisme. Penahanan itu hanya dapat diperpanjang selama 40 hari. "Ini pelik dan susah. Jadi saya harap tenggat waktunya perlu lebih longgar," tuturnya.

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menyoroti upaya pencegahan tindak radikal terorisme secara masif. Menurutnya, hal itu diperlukan agar pemerintah dapat menekan dan mengurangi kemungkinan kelompok terorisme dalam melakukan aksinya.

"Kami bisa menangkap orang yang diduga sedang melakukan koordinasi (terorisme), selama tujuh hari. Jadi kami bisa dapat data jaringannya," tutur Luhut Binsar Panjaitan.‎

Rencana revisi UU Terorisme ini muncul setelah aksi dugaan teror di Thamrin pada 14 Januari 2016 silam. Luhut mengatakan saat ini Presiden Joko Widodo telah memegang draf revisi UU Terorisme. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER