Jakarta, CNN Indonesia --
Ngumpet di gorong-gorongMakan tidur di dalam gotMerangkak-rangkak di dalam gelapDalam gelap, ya sayang, dalam gelapDendangan tersebut menjadi latar yang mengawali pentas lakon Opera Kecoa. Sejumlah pemeran bertingkah bak kecoa mabuk di tengah himpitan kehidupan di pinggiran kota, di lingkungan kumuh. Tak lama, terdengar dendangan lainnya menyuarakan:
Siapa suruh datang ke JakartaHanya bikin sampah, jadi sampahKerja keras maupun usahaHanya jalan jika ada kesempatan
Dari balik panggung muncul Roima, seorang bandit kelas teri menggendong jasad Julini, kekasihnya yang merupakan seorang waria. Roima meneriakkan kekecewaannya, marahnya, melihat dirinya dan Julini sebagai rakyat kecil yang selalu ditindas dan menjadi korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dia cuma ingin kerja supaya tidak mati. Tunjukkan cara lain untuk dapat penghasilan. Tidak ada...yang ada hanya pidato. Kerja banting tulang untuk dapat uang tapi cuma dianggap sampah."
Kalimat itu menjadi pembuka kisah atas apa yang kemudian melatari kematian Julini di pelukan Roima. Cerita kemudian kembali ke masa lalu, yang menghadirkan kemesraan Roima dan Julini saat pergi dari desa dan hendak mengadu nasib ke Ibukota. Mereka mencari rekan satu kampungnya, Tarsih dan Tuminah yang dapat membantunya agar dapat bertahan hidup.
Sayang, apa yang Roima atau Julini harapkan tak sesuai dugaan. Tarsih yang sudah mapan menjadi seorang mucikari di pinggir kota berlaku angkuh saat keduanya bertemu. Merasa gengsi dengan Tarsih yang menuduh mereka hendak meminta-minta, Julini pun membela diri bahwa mereka hanya ingin bertemu dan berkata kekasihnya sudah punya pekerjaan tetap. Pupus sudah harapan mereka dapat mengadu nasib ke Jakarta.
Tapi Roima dan Julini tak berhenti berusaha, Roima nekat meminta tolong pada Tuminah, temannya yang kini menjadi PSK, ia pun dibantu menjadi seorang bandit kelas teri. Sementara Julini, kembali menjadi seorang waria yang menjajakan diri.
Dengan pekerjaan tersebut, hidup keduanya tercukupi, tapi hubungan mereka merenggang. Di saat Julini bekerja malam hari, Roima bekerja pada siang hari. Keduanya jarang bertemu. Masalah muncul ketika Roima jatuh cinta dengan Tuminah, yang memimpikan hidup baik di masa tua mendirikan rumah tangga, dan punya anak. Julini pun merasa tersingkirkan.
Julini pergi meratapi kisah cintanya yang sudah hancur, dan mencari kawan-kawan warianya yang ketika ditemui tengah berhadapan dengan petugas keamanan. Saat itu rekan Julini tak bisa diatur dan melawan, hingga petugas pun bertindak melepaskan tembakan.
Peluru itu menyasar ke jantung Julini.
 Sejumlah waria mengejar aparat yang menyebabkan kematian rekan mereka, Julini yang tertembak saat razia malam di tempat mereka "mangkal". (Foto/CNN Indonesia/Safir Makki) |
Dua babak pementasanSelama hampir tiga jam, pementasan ‘Opera Kecoa’ yang diusung Teater Koma mengaduk-aduk emosi, dan menghadirkan kisah yang dekat dengan keseharian. Sutradara Nano Rintiarno kembali menampilkan potret orang-orang yang tinggal di pinggiran Jakarta, yang berusaha bertahan hidup dan kadang harus tersingkirkan.
Pementasan dibagi dalam dua babak, yang pertama berlangsung selama dua jam 10 menit, dan dilanjutkan di babak ke-dua selama 45 menit. Pembagian babakan ini disengaja untuk membangun konflik dan emosi penonton hingga titik klimaks.
Pementasan ke-146 bagi Teater Koma ini sebenarnya bukanlah lakon yang baru. Melainkan kisah yang pernah dipentaskan pada 1985, atau tiga dekade lalu. Menariknya, kisah tersebut masih berasa relevan dengan apa yang terjadi hari ini, tentang mereka yang tinggal di pinggiran, dan lalu tersingkirkan.
Nano menghadirkan lagi orang-orang pinggiran yang hidup sebagai pekerja seks komersil, waria dan mereka yang terpaksa bertahan hidup dengan jadi apa saja, termasuk bandit kelas teri.
Kisah mereka dibalut dengan asmara layaknya manusia biasa. Termasuk juga harus menghadapi perselingkuhan dan pengkhianatan antar sesama. Masalahnya tidak hanya sampai di sana, tapi juga ruang lingkup lebih luas. Bahwa mereka harus menghadapi para pemimpin yang berkuasa, yang bisa jadi tak menginginkan keberadaan mereka.
Dalam hal ini, pementasan menghadirkan sosok pemimpin yang seolah memihak rakyat, akan tetapi pada kenyataannya tidak sepenuhnya demikian.
Opera Kecoa dapat dikatakan sebagai kritik Teater Koma terhadap pemerintah, dan tentang mereka warga pinggiran yang rentan tersingkirkan. Padahal, sebagai orang kecil, mereka tak memiliki daya dan tak semestinya diperlakukan semena-mena.
Dengan lantang juga, pementasan ini menyampaikan pesannya, lewat kutipan di sejumlah dialog. Seperti kunci pada cerita ini, bahwa mereka yang melakoni perjuangan hidup dengan dua resiko: menjadi ada atau tersingkir.
Di akhir cerita, Nano coba mempertanyakan satu hal yang ia hadirkan kala lingkungan masyarakat kecil hancur karena kebakaran.
"Ketika ada kawasan tempat tinggal orang-orang kecil dimakan api selalu timbul dua pertanyaan: terbakar atau dibakar? Tak ada yang bisa menjawab, semua gelap. Seperti masa depan," ujar Nano.
 Setelah 31 tahun semenjak pentas pertama, ternyata lakon ini masih bisa menjadi potret kesadaran masa kini terutama di kota besar di Indonesia. (Foto/CNN Indonesia/Safir Makki) |
Kekuatan cerita
Pementasan Opera Kecoa digagas hampir tiga dekade lalu, dan kembali dipentaskan Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Izmail Marzuki pada 10-20 November 2016.
Karya yang sama juga pernah dilarang pada 1990 oleh pemerintah, saat hendak dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta bahkan tidak diberi izin keliling Jepang dengan alasan tidak mendidik.
Baru pada 2003, tepat 13 tahun setelah pelarangannya, 'Opera Kecoa' boleh masuk Gedung Kesenian Jakarta. Sebelumnya, karya Nano Riantiarno tersebut dipentaskan juga di Belvoir Theatre di Sydney, Australia, dengan judul 'Cockroach Opera,' dan mencuri perhatian.
Kekuatan Opera Kecoa tidak hanya terletak pada penceritaan, tapi juga para pemeran yang bermain dengan matang. Aktor Joind Bayuwinanda membuat sosok Julini sebagai waria, dengan sukses menarik perhatian. Dia mampu menggali karakter dengan kelembutan lewat sosok 'wanita' yang kerap memberi apapun untuk kekasih yang dicintainya, dan menamplilkan kegundahan dan rasa sakit saat dikhianati.
Tidak hanya Joind, Bayu Dharmawan Saleh pun tak kalah suksesnya memerankan Roima. Ia mampu menaruh emosi yang kuat kala menghadirkan potret kisah kehidupan rakyat kecil yang kerap ditindas.
Di samping kedua pemeran utama, para pemeran pendukung pun secara silih berganti mampu berakting sesuai dengan perannya masing-masing, dengan mengesankan. Pementasan ini didukung oleh para pemeran antara lain Ratna Riantiarno, Budi Ros, Rita Matu Mona, Dorias Pribadi, Alex Fatahillah, dan Daisy Lantang.
Sementara, komposisi musiknya merupakan milik almarhum Harry Roesli dengan aransemen yang digarap Fero Aldiansya Stefanus.
Di beberapa selingan produksi ke-146 nya ini, Teater Koma menambah keriuhan lewat nyanyian dari para pemeran, dan musik pengiring yang menaruh gambaran suasana pertunjukan secara tepat. Iringan musik yang turut menjadi kekuatan cerita menjadi salah satu ciri khas Teater Koma yang membuatnya selalu ditunggu-tunggu.
Detail adegan pun memberi gambaran yang sesuai, dan mudah dicerna. Adegan-adegan menarik itu seperti saat para warga berkumpul, pemulung yang sedang menghitung apa yang didapatnya, ibu-ibu yang bergantian mencari kutu, hingga obrolan kehidupan sehari-hari para PSK yang menunjukkan waktu sore hari. Semua hadir seolah nyata dan membuat takjub.
Transisi dari satu babak ke babak yang lain terasa halus dan rapi. Begitu juga penempatan properti pendukung yang seolah tak kentara, bahwa itu tengah menjadi peralihan ke babak berikutnya.
Emosi penonton dibangun secara perlahan, lewat peralihan pemain yang datang dan pergi dengan tempo yang tepat. Walau ada satu bagian yang terasa agak lebih lama, seperti saat perpeloncoan Roima kala bergabung dengan kelompok bandit. Di luar itu, semua adegan berasa pas dan mengaduk emosi.
Salah satu adegan yang dapat dikatakan klimaks yakni ketika para pemeran waria tak tanggung-tanggung bersolek dan menggunakan sepatu hak tinggi, lalu berlarian di atas panggung. Dapat dibayangkan betapa sulitnya, bagi para pemeran pria bertubuh kekar tersebut, ditambah lagi dengan adegan mereka sesekali harus berjongkok, duduk, juga berdiri.
Pentas Opera Kecoa adalah karya Teater Koma yang tidak hanya mengesankan sebagai sebuah seni pertunjukan tapi juga sarat makna. Dan makna tersebut disampaikan dengan baik hingga menempel di ingatan, bahwa yang pinggiran selalu berpotensi sebagai yang tersingkirkan.
'Opera Kecoa' dipentaskan setiap hari selama 11 hari, mulai 10 sampai 20 November 2016, pukul 19.30 WIB. Khusus hari Minggu, pementasannya pukul 13.30 WIB.