Jakarta, CNN Indonesia -- Penanganan kasus Florence Sihombing, mahasiswi pascasarjana Universitas Gadjah Mada, yang menghina warga dan kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinilai berlebihan oleh pengamat media sosial karena tak seharusnya dibawa ke ranah hukum.
Yose Rizal, direktur lembaga survei media sosial PoliticaWave, berpendapat, bahwa Florence memang melakukan kesalahan secara etika di media sosial karena menghina warga DIY dalam statusnya di media sosial Path. Namun, sanksi sosial dinilai sudah cukup untuk menghukum Florence.
Berbagai hal dapat menjadi tolok ukur etika dalam dunia online, salah satunya sifat saling menghormati tanpa menyinggung isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), yang tentu menjadi hal sensitif di Indonesia yang memiliki budaya plural.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Dia memang salah, tapi tidak seharusnya sampai dipidanakan. Penanganan kasus ini agak luar biasa. Memang kasus seperti ini dibahas pada UU ITE, tapi kita harus melihat dari berbagai faktor lain,” ujar Yose dalam email kepada CNN Indonesia.
Ia menambahkan, kalimat penghinaan yang ditulis Florence bukan hal yang dapat dilarang karena di Indonesia, kebebasan berekspresi juga menjadi hal yang patut dilindungi. Selain itu, perilaku macam ini sering terjadi di media sosial, hanya saja tidak terekspos ke publik.
Kebebasan berekspresi telah diatur dan dilindungi oleh pasal 28F UUD 1945 (amandemen ke-2), pasal 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (PBB), dan pasal 19 Kesepakatan Internasional tentang Hak-hak Sipil (PBB).
Florence resmi ditahan oleh Polda DIY pada Sabtu sore (30/8) setelah dilaporkan oleh LSM Jangan Khianati Suara Rakyat (Jatisura).
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) digunakan untuk menjerat Florence. Pasal yang dipakai adalah 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45 ayat 2. Sementara untuk KUHP, pasal 310 KUHP dan pasal 311 KUHP.
Menurut pakar media sosial Yanuar Nugroho, penahanan Florence tidak layak jika dipidanakan dengan pasal 27 UU ITE.
“Penangkapan Flo ini akan menjadi preseden (lagi dan lagi) dan memberi pesan salah kepada publik bahwa pasal 27 UU ITE bisa digunakan dan diinterpretasikan semaunya oleh siapa saja untuk membunuh kebebasan berpendapat,” ujar Yanuar kepada CNN Indonesia.
Perkara Florence, lanjut Yanuar, tak seharusnya dimanfaatkan untuk memberi pesan bahwa kesewenang-wenangan dibenarkan dengan dalih aturan.
Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail Cawidu, mengakui bahwa pasal 27 ayat 3 itu multitafsir. Kemenkominfo berencana memperinci pasal tersebut dan beberapa kali sudah mendiskusikannya dengan lembaga swadaya masyarakat.
Florence bukan orang pertama yang dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) mencatat hingga Agustus 2014 lalu, setidaknya ada 53 orang terjerat UU ini, antara lain Benny Handoko, Ade Armando, Budiman, Mirza Alfath, dan Prita Mulyasari.