Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden terpilih Joko Widodo berjanji akan memanfaatkan drone untuk memantau daratan dan perairan Indonesia. Fungsi pesawat tanpa awak itu tak terbatas untuk pemantauan saja. Lebih dari itu, ia dapat dimanfaatkan untuk mengirim barang bahkan menjatuhkan bom ke medan perang.
Drone yang diinginkan Jokowi, sejauh ini, berguna sebagai “mata-mata” dalam mendeteksi dan mencegah pencurian ikan, pembalakan liar, hingga kebakaran hutan.
Drone yang canggih disertai kamera untuk menampilkan video real-time daerah di sekelilingnya. Video itu menjadi panduan bagi pengendali untuk mengarahkan ke mana drone akan pergi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pasaran kini ada beberapa merek
drone yang bisa dibeli secara bebas, antara lain DJI, Parrot, Hubsan, atau Estes. Beberapa model
drone dari mereka itu bisa dikendalikan dengan perangkat
mobile atau alat pengendali buatan produsen masing-masing.
Drone dimanfaatkan oleh konsumen untuk berbagai hal. Mulai dari sekadar bersenang-senang dengan mainan pesawat, atau merekam foto dan video. Dalam dunia jurnalistik,
drone telah membantu proses pengambilan gambar sehingga ada istilah Drone Journalism.
Antar barang
Bagi perusahaan
e-commerce besar Amazon.com asal Amerika Serikat,
drone memiliki potensi besar untuk mengantar barang berbobot hingga 2,3 kilogram yang akan mempercepat proses pengiriman produk dari konsumen dengan jaminan waktu 30 menit.
Drone buatan Amazon ini diberi nama Octocopter, sementara layanan antar barang dengan
drone itu diberi nama Amazon Prime Air.
Selain Amazon, Google juga sedang menguji
drone untuk antar-jemput barang guna menjangkau daerah yang sulit diakses dengan kendaraan darat. Oleh Google, upaya pengembangan
drone mereka ini diberi nama Project Wing.
Drone Google ini lepas landas secara vertikal dengan tenaga baling-baling yang menghadap ke atas. Setelah lepas landas,
drone itu bisa terbang horizontal ataupun vertikal dengan baling-baling yang menghadap depan.
Ide Amazon dan Google ini belum bisa direalisasikan di Amerika Serikat karena regulator penerbangan di AS, Federal Aviation Administration, belum memiliki aturan untuk lalu lintas kendaraan atau benda yang terbang rendah. Selain itu, keberadaan
drone di udara juga dikhawatirkan mengganggu spektrum frekuensi yang dipakai pesawat komersial.
Sebarkan akses internet
Tak hanya dari sisi bisnis, nilai masa depan
drone juga terlihat dari sisi kemanusiaan yaitu menyebarkan akses internet di kawasan yang belum memiliki infrastruktur telekomunikasi.
Dua perusahaan yang memiliki bisnis kuat di sektor internet, Google dan Facebook, telah mengakuisisi perusahaan pembuat
drone. Google mengakuisisi Titan Aerospace asal New Mexico, Amerika Serikat pada April 2014 dengan harga yang dirahasiakan, dan Facebook mengakuisisi Ascenta asal Somerset, Inggris, pada Maret 2014 sebesar US$ 20 juta.
Drone dari Titan Aerospace dan Ascenta memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber energi. Panel-panel suryanya diletakkan pada bagian sayap dan ekor.
Drone tersebut diharapkan mampu membawa alat komunikasi nirkabel untuk menyebarkan akses internet.
Titan Aerospace mengklaim produk mereka yang bertipe Solara 60 dapat mengarungi jarak 4 juta kilometer dan bertahan terbang selama 5 tahun tanpa mendarat atau mengisi bahan bakar.
Drone militer AS
Dalam militer,
drone dikenal sebagai Unmanned Aerial Vehicles (UAV) atau Remotely Piloted Aerial Systems (RPAS) yang berfungsi untuk memata-matai, menyadap informasi, hingga menjatuhkan bom. Untuk kebutuhan mata-mata, ada
drone militer yang mampu terbang selama 24 jam, tujuh hari sepekan.
Di sini
drone dipakai ketika pernerbangan berawak dianggap terlalu sulit atau berisiko. Keterampilan tentara dilatih untuk menganalisa gambar yang diambil oleh kamera, mengirim data ke stasiun pengendali, dan mengambil tindakan atas apa yang mereka lihat.
Sistem kamera pada
drone militer mampu memperbesar gambar dan mengirimnya ke stasiun pengendalian.
Drone militer biasanya juga dilengkapi dengan radar, pencitraan infra-merah untuk kondisi cahaya rendah, serta laser untuk menargetkan sasaran.
Di Amerika Serikat (AS), banyak
drone yang dikendalikan dari pangkalan udara di Creech, Nevada.
Drone-drone tersebut akan lepas landas dan mendarat di sana.
AS menggunakan
drone MQ-1B Predator dan MQ-9 Reaper yang pernah digunakan untuk operasi militer di Afghanistan dan Pakistan. Sistem
drone itu terhubung dengan satelit dengan kecepatan jelajah mencapai 370 kilometer per jam. Sejak tahun 2002,
drone dari AS juga dilengkapi dengan dua hingga empat rudal yang dapat menyerang sasaran pada jarak hingga 8 kilometer.
Tentara AS kemudian mengembangkan
drone gaya helikopter dengan komponen kamera 1,8 gigapixel yang dapat menampilkan video
real-time pada tingkat 10
frame per detik.
Drone ini diberi nama A160 Hummingbird.
Pihak militer AS mengatakan kepada BBC, bahwa teknologi
drone yang mereka punya mampu melacak orang dan kendaraan dari ketinggian 6,1 kilometer.
Drone militer Inggris
Tak hanya AS, militer Inggris juga memanfaatkan
drone yang mereka sebut Hermes 450 UAV yang pernah mereka pakai di Irak dan Afghanistan. Selain itu, ada pula
drone yang lebih kecil untuk membantu dalam melacak bom.
Pada Juli 2010, Kementerian Pertahanan Inggris meluncurkan drone Taranis, sebuah purwarupa pesawat tanpa awak yang dirancang untuk menangkal serangan serta melakukan pengumumpulan informasi inteijen, pengawasan, dan menyerang
drone lainnya.
Berbasis teknologi yang dipakai Hermes 450 UAV, pada 2012 lalu Inggris kemudian mengembangkan
drone terbarunya bernama Watchkeeper yang dibekali persenjataan canggih.