Sabah, CNN Indonesia -- Pemanfaatan pesawat tanpa awak atau
drone makin diperluas. Fungsinya yang bisa terbang tinggi dan bisa membawa kamera ukuran mungil digunakan untuk memantau wabah malaria.
Drone bernama eBee diterbangkan setinggi 121 meter di atas hutan di Sabah, Malaysia. eBee, yang lebarnya kurang dari satu meter, ditugaskan mengambil foto setiap 10 sampai 20 detik sekali dengan kamera beresolusi 16 megapixel.
Namun, bukan nyamuk yang menjadi objek foto, melainkan perubahan lanskap hutan yang kemungkinan memberi petunjuk penyebaran wabah malaria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para peneliti menduga penebangan dan pengembangan hutan adalah faktor kunci penyebaran nyamuk yang terinfeksi parasit plasmodium knowlesi yang jika menggigit manusia, kera, atau orang utan, dapat menyebabkan malaria.
Nyamuk yang membawa virus plasmodium knowlesi adalah penghuni hutan. Mereka berkembang biak di kolam air dingin.
Menurut spesialis penyakit menular dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Kimberly Fornace mengatakan, jumlah nyamuk yang terinfeksi parasit plasmodium knowlesi sedang berkembang jumlahnya di Asia Tenggara.
Gambar-gambar yang dihasilkan kamera pada
drone eBee sejauh ini menunjukkan penebangan hutan memaksa para kera untuk mendekat ke pemukiman manusia, yang turut membawa nyamuk mendekati pemukiman.
Komisi margasatwa setempat telah memasang kalung dengan GPS ke para kera untuk memonitor keberadaan mereka. Informasi tersebut cukup membantu dalam mengamati pergerakan kera yang tersingkir karena pengembangan hutan.
Tim Fornace bekerjasama dengan Conservation Drones, sebuah organisasi yang merakit
drone berbiaya kurang dari US$ 1.000, untuk menciptakan
drone yang dapat menangkap gambar kera, sehingga tidak lagi diperlukan kalung GPS untuk memantaunya.
Misi memantau malaria dengan
drone dimulai pada Desember 2013 oleh ilmuwan Inggris untuk melacak wabah malaria di dekat kota-kota Asia Tenggara.