Jakarta, CNN Indonesia -- Ilmuwan sebetulnya sudah pernah meneliti daerah Banjarnegara yang mengalami bencana alam tanah longsor pada pekan lalu. Kawasan yang longsor termasuk area yang sudah lama diketahui sebagai zona berbahaya.
Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. mengatakan sudah sejak beberapa tahun lalu mereka meneliti kondisi alam dan geologi di Banjarnegara. “Memang rentan untuk bergerak longsor,” kata Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu kepada CNN Indonesia, Senin (15/12).
Dwikorita banyak meneliti soal pergerakan tanah yang mengakibatkan longsor. Eks Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM ini pernah menerima penghargaan dari International Program on Landslide pada 2011 atas pengembangan sistem peringatan dini longsor serta program pendidikan mitigasi longsor di daerah rawan longsor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Profesor Dwikorita mengatakan tanah longsor sudah pernah terjadi beberapa kali di sekitar Banjarnegara pada 2006. Kondisi itu diperparah oleh tata guna lahan yang tidak terkontrol.
“Peta bahaya sudah ada, tapi tidak diintegrasikan pada tata ruang sehingga lahan di sana berkembang ke arah kondisi yang berbahaya,” kata pakar geologi itu.
Permukiman berkembang justru di daerah berbahaya, seperti lembah-lembah sungai, yang terkurung perbukitan rapuh, terbentuk oleh zona retakan atau patahan batuan.
Sebelum diadakannya penelitian tentang kerawanan daerah itu, kata Dwikorita, permukiman pun sudah banyak di sana. Setelah ada penelitian, permukiman masih saja terus berkembang.
Dia bilang, tidak ada upaya untuk memindahkan masyarakat ke tempat yang aman. Padahal, sejak 2006 sudah ada rekomendasi. Selain itu, pemetaan daerah berbahaya juga dilakukan bersama pemerintahan daerah setempat.
Seberapa luas zona berbahaya di Banjarnegara? Dwikorita mengatakan sangat luas dan menyebar di sepanjang lereng, lembah bertebing curam dan tertutupi batuan rapuh dan terpotong oleh retakan-retakan.
Atau lahan yang tersusun dari lapisan tanah tebal dan gembur serta mudah menyerap air. Atau berupa lereng yang terlalu miring ke arah luar.
“Secara alami, potensi longsor sangat tinggi di sana, tapi tidak akan terjadi kalau tidak ada pemicunya,” kata Dwikorita.
Pemicunya bisa dari air yang meresap, terjadi getaran pada lereng, atau akibat gangguan pada lereng, misalnya dipotong untuk perluasan lahan, pembangunan rumah, ladang, atau jalan raya.
Sebagian besar pemicunya adalah curah hujan, tata guna lahan, atau pemotongan lahan. “Sedangkan kalau akibat gempa, saya belum tahu karena belum saya kaji lebih dalam,” katanya.
Bencana tanah longsor terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, pada pekan lalu. Longsoran tanah menimbun 105 rumah, masjid, sungai, sawah seluas 8 hektare, dan kebun palawija seluas 5 hektare.
Bencana ini menyebabkan banyak orang hilang. Saat ini baru 39 orang yang teridentifikasi. Sementara jumlah pengungsi mencapai 1.742 jiwa yang menyebar di 17 titik posko pengungsian.