Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah penelitian menawarkan cara terbaru yang kemungkinan bisa mengidentifikasi kasus pemerkosaan. Tekniknya adalah dengan memeriksa bakteri di rambut kemaluan korban dan tersangka.
Biasanya, teknik yang dipakai polisi dalam mengidentifikasi kasus pemerkosaan adalah memeriksa bukti rambut kemaluan di tempat kejadian. Tapi kebanyakan rambut kemaluan tak punya akar dan data DNA-nya kurang memadai.
Polisi juga kerap memeriksa sampel sisa sperma. Tapi data menunjukkan pemerkosa semakin hati-hati sehingga dalam sejumlah kasus, pemerkosa memakai kondom saat beraksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, Silvana Tridico, seorang ahli biologi forensik dari Murdoch University di Perth punya solusi lain. “Bandingkanlah bakteri yang ada di rambut kemaluan tersangka dan korban,” katanya, seperti dikutip sciencemag.com, kemarin. Tridico dan timnya mengatakan pemeriksaan bakteri itu akan menciptakan ‘sidik jari’ mikrobial yang bisa dipakai sebagai bukti untuk menghukum pelaku.
Tridico dan timnya meminta tujuh responden—dua dari mereka hidup bersama—untuk mengumpulkan kulit mati dan rambut kemaluan mereka selama lima bulan. Peneliti kemudian menganalisis sampel-sampel itu di laboratorium, mencari populasi bakteri yang ada setelah dua dan lima bulan.
Dari sisa kulit mati ketahuan bahwa ada 50 variasi mikroba pada lelaki dan 55 variasi pada perempuan. Tapi banyak mikroba yang ditemukan tidak spesifik menurut manusia pembawanya.
Bakteri di rambut kemaluan ternyata lebih jelas. Bakteri pada rambut kemaluan seseorang ternyata tetap sama selama lima bulan. Jumlah bakteri yang hidup di rambut kemaluan: 73 pada pria dan 76 pada perempuan.
Tridico bilang, dengan melakukan kombinasi yang lebih luas pada bakteri-bakteri yang berbeda dapat diketahui bahwa orang-orang punya 'peta' mikrobial yang unik pada diri mereka masing-masing.
Tapi pasangan yang hidup bersama ternyata memiliki kesamaan bakteri pada rambut kemaluan mereka. Rupanya, pasangan ini melakukan hubungan seks 18 jam sebelum sampel rambut kemaluan mereka dikumpulkan.
Tridico mengatakan, penelitian yang dipublikasikan di jurnal online Investigative Genetics itu masih perlu pengembangan lebih lanjut karena respondennya baru sedikit. Tapi itu telah membuka wawasan baru bahwa orang-orang bisa didiferensiasi menurut ‘peta’ bakteri di tubuhnya.
Max Houck, seorang ilmuwan forensik di Consolidated Forensic Laboratory, Washington, D.C., sepakat. Dia bilang, metode bakteri itu memang lebih sulit dipakai apabila antara pelaku dan korban sudah ada kontak seksual sebelumnya.
“Rambut kemaluan manusia akan signifikan dalam kasus-kasus di mana belum pernah ada kontak seksual sebelumnya antara korban dan tersangka,” katanya.
Sedangkan Rachel Fleming, ahli biologi molekular di Institute of Environmental Science and Research Ltd. di Selandia Baru, mengatakan penelitian lanjutan harus dilakukan sebelum rambut kemaluan dipakai dalam riset forensik.
Eksperimen yang harus dilakukan, kata Fleming, adalah memastikan seberapa mudah bakteri berpindah dari seseorang ke orang lain. Lalu, bagaimana mikroba bisa ditransfer memakai seprai, pakaian, handuk, yang sama, dan berapa lama bakteri yang berpindah itu bertahan di rambut kemaluan.
“Saya rasa, metode ini sangat mungkin menarik bagi ilmu forensik,” kata Houck. “Ilmu forensik adalah semua asosiasi antara manusia, tempat, dan benda-benda yang terlibat dalam aktivitas kejahatan, dan kejahatan seksual adalah asosiasi yang paling dekat yang harus kita hadapi.”