Diserang Virus Penyandera Dokumen, Haruskah Bayar Tebusan?

Hani Nur Fajrina | CNN Indonesia
Kamis, 04 Jun 2015 16:48 WIB
Kini ada virus yang bertugas menyandera dokumen di komputer pribadi dan meminta tebusan secara online ke korban agar dokumen itu dibebaskan.
Gildas Deograt Lumy, Ketua Tim Koordinasi dan Mitigasi Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum & Keamanan. (CNN Indonesia/Hani Nur Fajrina)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bentuk program jahat komputer atau virus dan modusnya terus berkembang, bahkan kini ada virus penyandera dokumen yang disimpan di komputer pribadi dan meminta tebusan secara online agar dokumen itu dibebaskan.

Karena meminta tebusan, virus penyandera ini populer disebut ransomware oleh para ahli keamanan siber. Ia mulai terdengar sejak pertengahan 2013 lalu secara global, lalu mulai masuk ke Indonesia pada pertengahan 2014.

Lantas, perlukah kita menuruti permintaan si peretas yang meminta tebusan uang?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Gildas Deograt Lumy, Ketua Tim Koordinasi dan Mitigasi Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum & Keamanan, kebanyakan virus penyandera akan meminta tebusan dalam bentuk mata uang virtual Bitcoin.

"Mayoritas memang pakai Bitcoin. Tapi yang tidak pakai juga banyak. Ada juga yang pakai Moneygram," ucap Gildas di sela acara Simposium Nasional Cyber Security 2015 di Jakarta, Kamis (4/6).

Gildas menilai tidak seharusnya korban menuruti permintaan peretas yang menyandera dokumen. Artinya, sebisa mungkin untuk tidak memberi uang sepeser pun pada pemeras.

"Yang namanya penjahat, ada yang dibalikin data kita, tapi ada juga yang tidak. Semua kendali ada di dia," sambungnya.

Baca juga: Virus Penyandera Data Komputer Makan Korban di Indonesia

Maka dari itu, Gildas secara realistis mengatakan cara yang paling ampuh untuk meminimalkan risiko kehilangan data atau data tersandera adalah membuat data cadangan atau backup di tempat yang terpisah.

Hal senada diungkapkan Alfons Tanujaya, Direktur perusahaan antivirus Vaksincom yang berbasis di Jakarta. Ia menyarankan dokumen penting yang ukurannya besar bisa di-backup di kepingan DVD dan disimpan secara offline. Sementara dokumen yang ukurannya relatif kecil bisa di-backup di layanan komputasi awan seperti Dropbox atau Google Drive.

Selain itu, hindari pula mengunjungi situs web yang tidak jelas pengelolanya seperti Torrent atau pornografi, karena di sana adalah gudang dari virus dengan segala macam modus kejahatan.

Gildas menambahkan agar pengguna memakai peranti lunak antivirus dan jangan sembarangan menancapkan flashdrive ke port USB komputer, karena perangkat mungil ini sering menjadi media penyebaran virus komputer.

Vaksincom sejauh ini telah menemukan sejumlah ransomware bernama Teslacrypt, Cryptowall, dan Alfacrypt. Yang terbaru adalah Locker atau juga dikenal CTB Locker.

Seorang desainer grafis bernama Agus Wiyono yang tinggal di Jatiasih, Bekasi, mengaku komputer berbasis Windows 7 yang biasa ia pakai untuk bekerja, terinfeksi virus Locker versi 5.46 pada 25 Mei 2015 lalu.

Locker membuat dokumen pentingnya yang diolahnya dengan peranti lunak Adobe InDesign dan Photoshop tidak bisa dibuka, juga dokumen Microsoft Word dan .JPEG.

"Saya terpaksa harus mengerjakan ulang dokumen desain yang sudah ditunggi oleh klien," ujar Agus yang biasa mengerjakan desain grafis untuk untuk perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat.

Dokumen yang terkunci oleh virus Locker hanya dapat dibuka dengan kode rahasia unik yang tersimpan di server milik peretas. Di sana peretas juga mengancam jika korban tidak membayar tebusan, maka dokumen akan "dihancurkan" dan tidak dapat membuka dokumen itu lagi.

Agar dokumennya bisa dibuka, peretas yang memegang kendali virus Locker ini meminta tebusan senilai 0,1 Bitcoin. Saat ini, harga 1 Bitcoin mencapai Rp 2.950.000 di bursa lokal Bitcoin.co.id. Jika mengikuti nilai konversi itu, maka Agus diminta membayar Rp 2.950.

Agus mengaku tidak mengerti cara kerja Bitcoin. Karena itu dia memilih untuk tidak mentransfer dana dan pasrah dokumennya hilang.

Baca juga: Kerugian Akibat Malware Pencuri Uang Rp 130 Miliar Sebulan

Selain itu, tidak ada keterangan pula dari si peretas, tebusan senilai 0,1 Bitcoin itu berlaku hanya untuk satu dokumen atau untuk semua dokumen.

Alfons menyarankan para korban agar tidak memberi tebusan. "Kalau dibayar akan makin menjadi-jadi dan kenyataannya sudah makin menjadi-jadi. Mau tidak mau kita harus kehilangan data," ujar Alfons.

Menurut data dari situs VirusRadar.com, virus yang disebut CTB Locker menyebar di 0,16 persen komputer bersistem operasi Windows XP, Windows Vista, Windows 7, dan Windows 8, di Indonesia.

Vaksincom memprediksi varian ransomware akan berlipat dua kali lipat dibandingkan tahun 2014. Artinya, jumlah ransomware ini akan terus berkembang dan mengancam para pengguna komputer. (adt/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER