RPP E-commerce, Melindungi atau Membunuh Industri?

Aditya Panji | CNN Indonesia
Senin, 29 Jun 2015 21:53 WIB
Kementerian Perdagangan mengklaim RPP E-commerce dibuat untuk melindungi konsumen, namun pelaku e-commerce berpikir aturan ini berpotensi mematikan industri.
Ilustrasi belanja online. (Thinkstock/LDProd)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan Rancangan Peraturan Menteri Perdagangan Elektronik (RPP E-commerce) yang sedang diuji publik dibuat untuk melindungi konsumen, namun para pelaku bisnis e-commerce menyatakan draf aturan ini berpotensi mematikan industri.

Menurut Direktur Bina Usaha Perdagangan Kemendag, Fetnayeti, penyusunan RPP E-commerce didasarkan atas hasil diskusi dengan pelaku industri, kementerian dan lembaga terkait, otoritas jasa keuangan, Bank Indonesia, hingga pajak, bea dan cukai. Peraturan dibuat untuk mendorong industri dan membangun perlindungan konsumen di ranah online.

Salah satu bentuk perlindungan konsumen ini, menurut Fetnayeti adalah kewajiban penjual yang berdagang secara elektronik memasukkan identitas mereka di platform e-commerce. Identitas itu bisa berupa akta, izin, KTP, NPWP, izin usaha jika sebuah perusahaan. Tahap verifikasi ini disebut dengan istilah Know Your Customer (KYC).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau yang berdagang adalah individu cukup KTP saja. Sekadar untuk mengetahui indentitasnya," tutur Fetnayeti saat dihubungi CNN Indonesia.

Baca juga: Asosiasi Pedagang Online Kecewa dengan Kemendag

Registrasi identitas diri juga dilakukan untuk melindungi konsumen sekaligus pemilik platform e-commerce. Fetnayeti mencontohkan, ketika ada peristiwa penjualan bayi di sebuah platform, pihak pertama yang dihubungi polisi adalah pemilik platform e-commerce yang menyimpan identitas penjual bayi.

Dengan ada keharusan dan menyimpan identitas penjual, Fetnayeti berkata, pengelola platform juga turut bertanggungjawab atas para pedagang yang berjualan di platform mereka.

Sementara dari sisi pembeli, Kemendag tidak memaksa untuk memasukkan identitas. "Kalau orang beli di online mereka sudah masukkan alamat email, alamat rumah untuk kirim barang, atau nomor kartu kredit. Itu semua sudah identitas yang bisa diketahui," jelas Fetnayeti.

Bagi Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesia E-commerce Association/idEA), kebijakan pemerintah untuk memasukkan identitas saat ingin berjualan online ini justru dapat mematikan industri karena dinilai tidak masuk akal untuk model bisnis iklan baris dan marketplace (mal online).

"Beberapa isi RPP sangat mengkhawatirkan dan berpotensi mematikan industri," kata Ketua Umum idEA sekaligus CEO OLX Indonesia, Daniel Tumiwa. Ia juga menyayangkan sikap Kemendag yang tidak transparan karena asosiasi tidak diberi akses terhadap materi draf selama dua tahun wacana regulasi ini bergulir.

Mereka berharap Kemendag dapat belajar dari peraturan yang berlaku di Amerika Serikat di mana pemerintahnya membatasi pertanggungjawaban hukum dari sisi penyelenggara platform berdasarkan azas keadilan karena hal ini disebut penting untuk membangun iklim usaha yang kondusif bagi pelaku bisnis.

Selain itu, idEA juga mengkritisi pemerintah yang tidak mendefinisikan pelaku usaha e-commerce berdasarkan keadaan, model, dan praktik bisnis saat ini. Mereka berkata bahwa e-commerce jauh lebih luas dari model bisnis e-retail, karena masih ada model iklan baris dan marketplace.

Dalam draf RPP E-commerce, Kemendag sengaja tidak medefinisikan pelaku usaha berdasarkan model bisnisnya. Kementerian hanya membagi pelaku usaha dalam tiga kategori, yaitu pedagang (merchant), penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (penyelenggara platform atau yang menyediakan sarana berdagang), dan penyelenggara perantara.

Khusus penyelenggara perantara, Fetnayeti menjelaskan bahwa hal ini bisa berupa para pemain mesin pencari untuk perdagangan elektronik yang tidak meraih benefit. "Kalau dia sudah dapat benefit, maka dia masuk dalam penyelenggara platform atau pihak yang menyediakan sarana berdagang," tegas Fetnayeti.

idEA mengajak pemerintah untuk memperbaiki draf RPP dan meminta agar dilibatkan secara aktif. Mereka juga meminta diberikan waktu selama 30 hari untuk mengevaluasi puluhan pasal dalam draf RPP E-commerce yang sedang diuji publik sejak 17 Juni 2015.

Baca juga: Tingkatkan Ekonomi, China Percepat Koneksi Internet

Akhir kata Fetnayeti mengatakan tidak menutup kemungkinan uji publik RPP E-commerce dilakukan sebanyak dua kali jika hal itu memang diperlukan industri. "Kita sebetulnya mau dua kali uji publik. Tapi dengan catatan, ini kalau diperlukan, ya. Tergantung! Di rencana kerja kita tidak dimasukkan ada beberapa kali uji publik karena kita juga harus kerja cepat," ujar Fetnayeti.

Kemendag mengaku bakal mendengar kritik dan saran dari para pelaku bisnis. Jika ada pasal yang dirasa memberatkan, kementerian yang dipimpin oleh Rachmat Gobel ini berkata siap membuka pintu lebar untuk berdiskusi kembali.

"Tidak mungkin pemerintah membuat kebijakan untuk mematikan," tutup Fetnayeti. (adt/tyo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER