Jakarta, CNN Indonesia -- Pulau Bali baru saja diguyur hujan, air yang tumpah semalaman menyisakan basah di jalan pada Minggu (24/1) pagi itu. Aroma tanah bekas hujan bersekutu dengan sinar matahari seolah ikut menyusuri perjalanan tim CNNIndonesia.com ke Kabupaten Karangasem.
Butuh waktu hingga 2 jam untuk menembus sekitar 80 kilometer perjalanan dari pusat kota agar bisa sampai di Desa Nyuh Tebel, Kecamatan Manggis. Daerah ini tak begitu riuh seperti kawasan terkenal Pulau Dewata lain, sesepi itu juga ketika kami sampai di bengkel sederhana milik I Wayan Sudarmana atau biasa dipanggil Tawan.
Bengkel las tanpa nama, tanpa nomor, dan jarak antar tetangga begitu jauh. Itulah pandangan pertama kami saat sampai di 'laboratorium' tempat kerja Tawan. Dari tempat ini ia menghasilkan lengan mesin yang membuat heboh media beberapa hari belakangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masuk ke bengkel las, kami disambut sang empunya bengkel, Tawan dan istrinya Ni Nengah Sudartini. "Silahkan masuk, tapi alatnya sudah rusak, karena kehujanan," kata Tawan, seolah tahu maksud dan tujuan kami.
Pukul 10.30 WITA, Tawan tengah melakukan wawancara dengan media lain, kami yang datang belakangan pun harus menunggu giliran untuk melakukan kegiatan yang sama. Kami duduk di tempat yang terbuat dari pipa besi, dia melanjutkan pekerjaan mengelas tanpa bantuan lengan mesin, hanya sarung tangan yang dibekali tali. Tali ini berfungsi untuk mengangkat tangan kiri Tawan yang lumpuh, dengan cara menarik dengan gigi.
Bengkel las Tawan begitu sederhana, luasnya tak seberapa, hanya ditutupi asbas, itupun tak semuanya. Tempat ini dibagi tiga dengan pemisah ala kadarnya, ruang menerima tamu dan bekerja, ruang tidur dengan sekat lemari dan ruang kecil yang seperti tempat Tawan membuat lengan mesinnya.
Media ini kadang terlalu berlebihan anggap saya seperti Iron Man. Tidaklah, saya tidak sepintar si Tony Stark itu.Tawan |
Bengkel las Tawan semakin sempit karena berbagai rongsokan tumplek-blek di sekelilingnya. Ada besi-besi tua. Motor dan mobil yang sudah tak utuh lagi, serta tumpukan barang bekas seperti botol plastik atau kardus yang menumpuk membentuk gunungan yang juga sebagai jalan ke atas menuju kandang ayam. Ada puluhan ayam dipelihara di sana.
"Saya sewa ini Rp 17 juta untuk 5 tahun. Itu barang bekas buat dijual lagi, tapi sejak bapaknya (Tawan) jadi banyak tamu, jadi tidak bisa menjual lagi. Pelanggan pun banyak komplain karena pesanannya belum selesai juga. Katanya pemerintah mau kasih renovasi rumah, tapi tidak tahu kapan," cerita Ni Nengah.
Sang istri pun beranjak dan menyuruh anak bungsunya yang berusia 4,5 tahun, Titan Putra, untuk tidur siang. Ia istirahat di tempat tidur bekas jok mobil menemani kakaknya, Erlangga Putra, yang sudah terlebih dahulu tidur dengan alas tanah yang bahkan beberapa kali harus dilangkahi ayam yang berseliweran.
 I Wayan Sumardana alias Tawan dan istrinya, Ni Nengah Sudartini, melayani permintaan wawancara CNNIndonesia.com di bengkel sekaligus kediamannya di Desa Nyuhtebel, Karangasem, Bali, Senin, 25 Januari 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sanitasi rumah Tawan tidak terlalu baik. Kotoran ayam terlihat di mana-mana, atap rumah tak tertutup rapat, juga rongsokan dan barang bekas yang menggunung.
"Dahulu sebelum sakit, saya termasuk lumayan dapat pemasukan. Bisa gaji karyawan Rp 3 juta per orang dan saya sendiri bisa dapat Rp 5 juta sebulan. Setelah sakit, karyawan banyak yang pergi, pemasukan pun kadang ada kadang tidak, pernah dapat hanya Rp 10 ribu saja," Tawan memulai perbincangan, saat tengah hari tiba.
Dia mengenang, enam bulan lalu, saat mengerjakan pesanan besi pintu pelanggannya, tiba-tiba dia merasa sakit perut yang teramat sangat. Matanya seperti berputar dan pandangan di sekitarnya mendadak menjadi kuning.
Dari sakit perut ini, dia memutuskan untuk beristirahat hingga keesokan harinya Tawan merasakan bahwa tangan kirinya seperti hilang. Ia sempat berteriak agar istri dan anak mencari-cari tangannya yang dikiranya hilang. Dari situlah dia merasa tangan kirinya sudah lumpuh.
"Saya langsung baca internet lewat ponsel, mencari-cari apa yang terjadi. Katanya kalau stroke, harus tunggu 24 jam. Tapi di hari ketiga saya pergi ke dokter. Kata dokter juga bingung, tensi saya tidak tinggi, tapi kok lumpuh gini," katanya.
Beberapa kali berobat ke dokter, dia belum menemukan apa penyakit dan sumbernya. Dia pun terbersit ini sepertinya 'serangan ilmu hitam' dari orang-orang yang iri dengannya.
Dia bilang, "Karena saya tahu banyak orang-orang yang tidak suka saya dapat banyak pelanggan dan pesanan. Mungkin mereka ini iri."
Dari klinik hingga ke tempat klenik pun dia sambangi untuk mendapatkan kepastian sumber penyakit dan penyembuhannya. Tapi hasilnya nihil.
"Sampai dua minggu saya frustasi, mana saya punya pinjaman bank dan cicilannya sudah jatuh tempo belum terbayar. Dari situlah saya berpikir untuk membuat alat bantu kerja ini," katanya.
Hanya dua bulan, lengan mesin ini bisa bekerja. Perangkat purwarupanya digerakkan dengan bantuan remote kontrol, yang katanya diambil dari remote control mainan dan diambil juga receiver penerima sinyal untuk dipasangkan ke lengan mesinnya itu.
Obrolan kami beberapa kali terhenti, karena tamu tak henti-hentinya mengalir ke bengkel lasnya. Kebanyakan punya tujuan ingin melihat alat bantu kerja Tawan karena penasaran dengan apa yang telah diberitakan.
Sang istri hanya bisa melihat dari jauh, sembari mengipas-ngipas anaknya yang tidur agak tak diganggu lalat dan ayam.
"Ini sampai kapan ya pak akan (terekspose) seperti ini. Lama ya hilangnya?" keluhnya
"Memang kenapa, bu?" tim CNNIndonesia.com bertanya balik.
"Ya, capek pak. Jadi tidak bisa bekerja, karena tidak enak, karena tidak bisa bekerja. Mau hidup normal kaya dulu lagi."
Matahari terus bergerak perlahan. Para tamu tak kunjung berkurang. Ada yang bertanya-tanya soal lengan mesinnya sampai yang sekadar meminta foto bersama. Kalau tidak diteriaki istrinya untuk makan siang yang sudah sangat terlambat, mungkin Tawan tak akan makan juga.
Sore mulai merambat, foto untuk kepentingan publikasi hingga wawancara terus dilakukan sembari dia menerima tamu.
Ketika gelap menandakan malam, satu cangkir kopi menemani obrolan kami. Matanya mulai sayu, mukanya tampak lelah, karena dia begitu sibuk sepanjang hari menerima tamu, saking sibuknya semua rokok yang dibakar beberapa kali tidak ada yang benar-benar habis.
"Saya suka baca komentar dan berita di internet soal alat ini. Awal-awal ketika dianggap bohong, saya sempat patah semangat. Tapi kelamaan saya sadar mungkin mereka hanya orang iri yang tak bisa lihat hasil karya orang. Ya sudahlah, biarkan saja."
"Media ini kadang terlalu berlebihan anggap saya seperti Iron Man. Tidaklah, saya tidak sepintar si Tony Stark itu. Mungkin dia juga malu kali disamakan dengan saya. Ha-ha-ha-ha,” akhirnya satu tawa lepas dari muka lelahnya.
Hari itu ditutup tanpa satupun pekerjaan yang tuntas. Dia sudah sangat lelah, hingga ketika kami pamit, dia sudah bersiap ke tempat peraduannya. Jok mobil, dengan tatapan dari poster Tony Stark yang sedang berpose menggunakan tangan Iron Man dan sensor otak di kepalanya.
Mungkin benar, jangan pernah samakan Tawan dengan si Iron Man. Dia tidak kaya raya, dia merasa tak pintar, dia tidak tinggal di griya tawang yang mewah, apalagi dikelilingi wanita cantik, karena hanya puluhan ayam berkeliaran. Tawan membuat alat bantunya ini untuk mencari nafkah, bukan membela kebenaran.