Jakarta, CNN Indonesia -- Gerhana Matahari Total yang terjadi saat 11 Juni 1983 silam tidak lekang dari benak masyarakat Pulau Jawa yang waktu itu jadi tempat terbaik untuk menyaksikan fenomena langka itu. Minim informasi karena belum ada koneksi internet hingga imbauan instruksional pemerintah membuat gerhana matahari jadi sesuatu yang mengerikan, sekaligus menggelitik apabila diingat.
Salah satu warga Petukangan Utara, Jakarta Selatan bernama I'in Suprihatin bercerita, kala itu dua buah hatinya masih sangat kecil. Anak sulungnya baru duduk di bangku TK sedangkan satunya masih berusia 3 tahun. Saat itu selain kabar soal bahaya gerhana yang bisa bikin buta, mitos gerhana bisa bikin kulit belang mencuat.
"Para wanita yang sedang hamil disarankan berdiam di rumah, kalau bisa mengumpat di bawah kolong tempat tidur. Dulu ada mitos bahwa Gerhana Matahari bisa bikin kulit anak belang hitam sebelah," kisah I'in kepada CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mitos kala itu memang tidak berasal dari pemerintah, namun suruhan dari para orang tua yang masih 'kolot' karena percaya terhadap mitos zaman baheula.
Namun menurut pantauan I'in kala itu, di sekitar rumahnya tidak ada aparat keamanan khusus yang menjaga warga. Justru kala itu ia dan warga sekitar sengaja menggunakan foto hasil rontgen untuk melihat ke arah langit.
"Karena pemerintah bilang tidak boleh dilihat pakai mata telanjang, kita coba pakai klise foto rontgen. Semua orang penasaran sama gerhana," sambungnya.
Lain halnya dengan pengalaman Putu Sunika, perantau dari Pulau Dewata yang hijrah ke Jakarta. Saat itu ia sedang menetap di daerah Cilandak. Kantor tempat ia bekerja diakuinya diliburkan karena fenomena langka ini.
"Saya penasaran, jadi keluar dari rumah kos bersama teman, bawa kacamata hitam biasa, lalu kita memakainya secara bergantian. Waktu itu gelapnya sebentar saja," kenang Putu.
Lain halnya dengan seorang warga Bandung, Wastuti Retno. Tuti, begitu ia disapa, saat itu masih sekolah di bangku SMA. Ia ingat bahwa menjelang gerhana, udara menjadi lebih dingin dan suasananya lebih redup.
"Seperti menjelang magrib saja. Cuma memang saya dan keluarga tidak berani lihat langsung ke Matahari, jadi kita pakai baskom isi air. Lumayan dapat bayangannya yang seperti bentuk sabit selama 4 menit kurang lebih," cerita Tuti.
Tuti tidak sendiri. Meski banyak tetangganya lebih memilih nonton televisi, Syathori dari Tebet, Jakarta Selatan mengaku juga melihat fenomena ini melalui pantulan air yang sengaja dituangkan di baskom. Namun, seingatnya, ia dan teman-teman tetap bekerja ke kantor, tidak sampai diliburkan.
"Yang paling kentara adalah ayam langsung berkokok begitu hari berubah jadi gelap," imbuh Syathori.
Di samping hal-hal tak biasa seperti yang dialami oleh sejumlah warga di atas, GMT tahun 1983 memang diakui sangat fenomenal. Setidaknya peneliti astronomi Observatorium Bosscha yang juga seorang dosen ITB, Moedji Raharto menyatakan, kala itu memang imbauan berkala oleh pemerintah berhasil membuat penduduk Nusantara nurut agar berdiam diri di rumah.
"Untungnya seiring berjalannya waktu, teknologi makin canggih sehingga pikiran masyarakat sudah terbuka terhadap banyak hal, salah satunya fenomena gerhana. Tahun ini saya turut senang jika pemerintah justru menggalakan promosi pariwisata lewat momentum gerhana. Semoga semakin banyak hal yang bisa diteliti," kata Moedji.
(adt/adt)