GERHANA MATAHARI TOTAL

Selamat Tinggal Marabahaya Gerhana Matahari Total

Hani Nur Fajrina, Aditya Panji | CNN Indonesia
Rabu, 09 Mar 2016 14:55 WIB
Kisah mencekam dan ancaman marabahaya gerhana matahari total pada 33 tahun lalu yang berubah menjadi sukacita di tahun 2016.
Gerhana matahari total di Ternate, Maluku Utara, 9 Maret 2016. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Haryo Brono mengurung diri di rumahnya pada 11 Juni 1983. Ini hari Sabtu yang tak biasa untuk bocah sepertinya yang kala itu berusia 10 tahun. Haryo takut akan sesuatu yang konon bisa membuat matanya buta.

Siang hari yang cerah, sekitar pukul 12 siang, tiba-tiba redup dan menjadi malam. Dari dalam rumah semi permanen yang terbuat dari gedek, Haryo melihat intensitas cahaya matahari yang masuk dari celah-celah bambu semakin dikit.

"Gelap banget," kata Haryo.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haryo melihat dari celah gedek, ayam-ayam peliharaan orangtuanya terlihat bingung karena gelap yang muncul tiba-tiba. Tetapi Haryo tak berani melihat ke awan, apalagi keluar rumah untuk melihat matahari.

"Saya tak keluar rumah semeterpun. Hanya di dalam, takut buta."

Apa yang disaksikan Haryo waktu itu adalah gerhana matahari total, saat di mana bulan melintas tepat di depan matahari dan menyebabkan sejumlah kawasan di Bumi jadi gelap. Dia hanya berani mengamati gerhana matahari total yang terjadi selama kurang lebih enam sampai tujuh menit dari layar televisi stasiun TVRI.


Jauh sebelum itu, Haryo tahu akan terjadi gerhana matahari total. Dia dengar banyak kabar horor, mulai dari keharusan mengumpat di kolong tempat tidur sampai orang hamil yang tak boleh keluar rumah.

Mitos yang juga dipercaya mengatakan warga harus membuat bunyi-bunyi gaduh saat gerhana terjadi. Bahkan, ada yang bilang gerhana matahari total membuat kulit anak kecil dan bayi jadi belang sehingga harus berada di dalam rumah.

Haryo di waktu kecil sangat percaya dengan segala marabahaya akibat gerhana matahari total. Sekolah Dasar tempat Haryo menuntut ilmu di Purworejo, Jawa Tengah, sampai meliburkan kegiatan belajar karena tak mau terjadi apa-apa dengan siswanya.

Kabar-kabar menakutkan serta mitos seputar gerhana matahari tahun 1983 ini memang beredar luas. Ditambah dengan imbauan pemerintah waktu itu yang melarang warga melihat langsung ke matahari.

Gerhana Matahari Tidak Menakutkan

Peneliti astronomi di Observatorium Bosscha, Moedji Raharto, menilai bahwa imbauan pemerintah yang kala itu disampaikan berubah tafsirnya menjadi kengerian. Beberapa orang yang hidup di zaman itu berkata suasananya jadi mencekam.

Di tahun 1983, Moedji melakukan penelitian gerhana matahari total dari Rembang, Jawa Timur, bersama tim kecilnya dengan bekal peralatan ilmiah seadanya. Meski tujuannya meneliti, perhatian Moedji tidak lepas dari keadaan masyarakat yang diinstruksikan untuk masuk ke dalam rumah oleh aparat setempat.

"Hari itu banyak warung yang tutup, mau jajan susah. Di jalan raya juga menjelang gerhana para sopir angkutan umum berhenti beroperasi mengantar penumpang," cerita Moedji kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Pengalaman serupa dirasakan oleh Gunawan Admiranto dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), yang waktu itu melakukan penelitian di Cepu, Blora, Jawa Tengah.

Dia melihat ada aparat mengusir warga yang berada di luar rumah dan diperintahkan masuk ke rumah. Walau ada juga yang nekat tetap keluar rumah ketika aparat menjauh. Sementara warga yang di rumah memilih nonton dari TVRI.

Dokumentasi Gerhana Matahari Total yang jatuh pada 11 Juni 1983. (Dok. Observatorium Bosscha)

Padahal, gerhana matahari total tahun 1983 dikenang Moedji dan Gunawan sangat mengagumkan karena totalitasnya terjadi sekitar pukul 12 siang. Gerhana benar-benar menyulap siang menjadi seperti malam. Bintang seketika terlihat jelas. Korona matahari terlihat jelas di hasil jepretan foto para peneliti.

“Kala itu warga cuma bisa nonton TV, padahal sebenarnya tidak seberbahaya itu asal tidak kelamaan melihatnya," ucap Gunawan.

Gerhana matahari memang tidak boleh dilihat secara langsung oleh mata telanjang. Butuh alat khusus untuk meredam cahaya agar tak terlalu banyak diserap retina mata. Jika ingin melihat dengan mata telanjang, sebaiknya hanya dilakukan dalam beberapa detik.

Mata bisa mengalami kerusakan bukan hanya di momen gerhana matahari, tetapi pada dasarnya melihat matahari langsung dan dalam waktu lama bakal membahayakan kesehatan mata.

Tahun 1983 menurut Moedji, ada distorsi informasi di tengah masyarakat. Ini bisa jadi disebabkan oleh imbauan pemerintah dan kisah marabahaya yang semuanya tak terkonfirmasi.


Kengerian bisa jadi muncul karena imbauan tak melihat matahari secara langsung datang dari banyak pihak, seperti Departemen Kesehatan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Penerangan, hingga para dokter. Serangkaian imbauan ini disalurkan dari jauh-jauh hari dan tak diimbangi dengan informasi memakai alat pelindung khusus jika ingin mengamati gerhana matahari.

"Efek buta tidak terjadi secara langsung, kok. Tapi orang-orang juga mesti paham, untuk menyaksikan GMT memang dianjurkan jangan terlalu lama," lanjut Moedji.

Kemajuan teknologi saat ini dinilai Moedji seharusnya tak lagi membatasi seseorang untuk melihat gerhana matahari. Jika ingin menyaksikan gerhana matahari, setidaknya warga memakai kacamata yang dipakai tukang las.

Kemajuan teknologi lensa dan teleskop saat ini juga membantu Moedji dan Gunawan dalam mengamati gerhana matahari serta fenomena luar angkasa lain. Semakin canggih instrumen ilmiah yang dipakai, Moedji meyakini hasil pengamatannya bakal lebih baik dan diharap membawa data baru.

Warga setempat, turis, dan peneliti, mengamati gerhana matahari total di pantai Pulau Ternate, Maluku Utara. (REUTERS/Beawiharta)

Di tahun 2016, pemerintah memanfaatkan gerhana matahari total sebagai momen meningkatkan ekonomi daerah dari pariwisata. Selain wisatawan, para peneliti juga hadir untuk mengamati gerhana matahari total. Bahkan, badan antariksa Amerika Serikat, NASA, juga datang ke Indonesia dan mengamati dari Ternate, Maluku Utara.

Beberapa daerah lain yang ramai dikunjungi wisatawan adalah Tanjung Pandang (Bangka Belitung), Balikpapan (Kalimantan Timur), Palu (Sulawesi Tengah), dan Maba (Maluku Utara). Gerhana matahari total berlangsung selama 1,5 sampai 3 menit.

Mengubur Kenangan Kelam

Sejak beranjak dewasa, Haryo secara natural memelajari ilmu astronomi termasuk gerhana matahari. Dia mengaku suka mengamati rasi bintang. Dari situ dia tahu bahwa gerhana matahari bukan hal yang harus ditakutkan dan justru diburu peneliti karena kelangkaannya.


Selain 1983, gerhana matahari total di Indonesia juga terjadi pada 1988 dan 1995, dan pada tahun 2016 ini bisa disaksikan di 12 provinsi Indonesia kawasan perairan Pasifik. Sukacita menyambut gerhana tahun ini begitu terasa. Masyarakat mengubur dalam-dalam suasana mencekam ketika gerhana matahari seperti 33 tahun lalu.

Haryo, yang kini berprofesi sebagai jurnalis di Jakarta, menyesal karena di tahun 1983 dia mengurung diri ketika gerhana matahari total yang begitu istimewa terjadi di siang hari bolong. Ia menilai semua larangan atau kabar horor yang tersebar saat itu sangat konyol. Tak seharusnya ada pelarangan atas sebuah fenomena ilmiah nan langka.

“Setiap ada berita gerhana ingatan saya selalu melayang ke masa 1983,” kata Haryo.

Tahun ini Haryo sekeluarga memang tak pergi ke tempat yang dilewati gerhana matahari total. Ia hanya mengajak anaknya mengamati dengan selembar film negatif hasil rontgen dan dari televisi rumah, sambil menjelaskan secara ilmiah apa itu gerhana matahari. Ia berusaha mengenalkan semesta, bukan menyebar marabahaya. (adt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER