Ekonomi Berbagi dan Promosi Gaya Perusahaan Teknologi

Hani Nur Fajrina | CNN Indonesia
Selasa, 29 Mar 2016 18:10 WIB
Ekonomi berbagi mengandalkan partisipasi banyak pihak untuk memberi layanan tertentu yang pada akhirnya menciptakan nilai, kemandirian, dan kesehjateraan.
Perusahaan Grab yang mengelola layanan kendaraan panggilan memilih jadi perusahaan aplikasi dan siap mematuhi syarat dari pemerintah, seperti bermitra dengan badan hukum koperasi sebagai penyedia kendaran sampai melakukan uji KIR. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Belakangan ini kota Jakarta sedang gaduh karena protes sopir taksi atas model bisnis sharing economy, terutama soal kendaraan yang bisa dipesan dengan bantuan aplikasi di ponsel.

Model bisnis sharing economy atau ekonomi berbagi ini belakangan gencar diadopsi oleh perusahaan teknologi, seperti Gojek, Uber, dan Grab, dalam bisnis transportasi.

Rhenald Kasali sebagai pendiri Rumah Perubahan memaparkan, ekonomi berbagi mengandalkan partisipasi banyak pihak untuk memberi layanan tertentu yang pada akhirnya menciptakan nilai tersendiri, kemandirian, dan kesehjateraan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semua partisipan melakukan peran masing-masing dan setiap pemasukan akan dibagi hasilnya. Menurut Rhenald, selain kesejahteraan, efisiensi juga tercipta dari ekonomi macam ini karena produk atau jasa disediakan pihak ketiga, sehingga bisa menawarkan harga lebih murah ke konsumen.

Rhenald Kasali, pendiri Rumah Perubahan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
"Semuanya meraih pendapatan melalui bagi hasil karena menjalankan peran sendiri-sendiri. Cara kerjanya jadi lebih cepat," ucap Rhenald kepada CNNIndonesia.com, Selasa (29/3).

Teknologi dan Promosi

Dalam menjalankan bisnisnya, Rhenald menilai para pengelola Gojek, Uber, dan Grab, sangat memelajari sistem permintaan dan ketersediaan konsumen lalu dengan cepat menerapkannya ke dalam aplikasi sehingga bisa dinikmati pelanggan, termasuk memberi promo diskon.

Aplikasi yang mereka sediakan ke publik dimanfaatkan juga untuk alat komunikasi dengan konsumennya, sehingga mereka bisa memelajari lebih dalam soal permintaan.

"Contoh, pada waktu tertentu sedang oversupply. Misal sedang musim panas, Gojek sedang sepi karena konsumen pilih naik bus. Karena sepi, Gojek bikin tarif jadi murah untuk menggaet banyak demand," jelas Rhenald yang juga Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Dengan basis teknologi kuat, mereka bisa menerapkan promo dengan cepat berdasarkan sistem permintaan dan ketersediaan tadi. Hal ini yang kadang tak bisa dilakukan atau lambat dilakukan perusahaan operator kendaraan konvensional, sehingga dinilai Rhenald menimbulkan kecemburuan.

Padahal, penerapan promo berdasakan permintaan dan ketersediaan itu mirip dengan yang selama ini dilakukan maskapai penerbangan. Mereka menurunkan harga saat low season dan menaikan biaya saat high season.


Hal macam ini yang mungkin tak bisa diikuti oleh operator kendaraan konvensional. Beberapa dari mereka bahkan tak memiliki aplikasi untuk memudahkan pemesanan. Sekalinya ada yang telah membuat aplikasi, namun itu dikerjakan oleh tenaga kerja alihdaya yang membuat eksekusi urusan teknologi lambat dilakukan.

'Sharing Economy Masih Penyok'

Meskipun Rhenald mengatakan Grab, Uber, dan Gojek, sebagai pelaku model bisnis ekonomi berbagi, namun status itu belum sepenuhnya bulat karena masih terkendala isu regulasi.

Para pelaku bisnis masih punya banyak pekerjaan rumah untuk memuluskan jalannya menerapkan ekonomi berbagi agar tak dinilai ilegal oleh regulator atau penguasa.

"Sharing economy saat ini masih penyok-penyok. Belum jelas dan masih menimbulkan kontroversi dalam penerapannya, khususnya yang mengandalkan kemajuan teknologi. Masih berbenturan dengan UU, jadi ya, bisa dibilang masih penyok, belum mulus," ucapnya.


Menurutnya, pemerintah jangan hanya berpatok pada UU yang sudah ada, namun ada baiknya memperbarui aturan agar selalu bisa menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat.

Pemerintah Indonesia, diketahui memilih "berdamai" dengan layanan kendaran panggilan yang diributkan pengemudi angkutan umum Jakarta pada Maret lalu. Dalam kondisi seperti ini, pelaku bisnis ekonomi berbagi harus mengikuti aturan "damai" dari pemerintah itu, dan Rhenald menilai juga harus menghormati kewajiban pajak di setiap negara tempat beroperasi. (adt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER