Pemerintah Dinilai Tak Bisa Tentukan Tarif Interkoneksi

Ervina Anggraini | CNN Indonesia
Kamis, 18 Agu 2016 19:32 WIB
Sekjen Pusat Kajian Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi menyebut kapasitas menetapkan penurunan biaya interkoneksi seharusnya bukan di tangan pemerintah.
Sekjen Pusat Kajian Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung Ridwan Effendi. (CNN Indonesia/Ervina Anggraini)
Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarnya Surat Edaran Kominfo No.115/M.Kominfo/PI.0204.08/2016 dianggap telah menyalahi prosedur yang ada, khususnya dalam PP 52 tahun 2000 pasal 23 mengenai penetapan tarif interkoneksi. Rencana pemerintah untuk memberlakukan tarif interkoneksi yang baru pada 1 September 2016 pun menuai polemik di oleh penyelenggara telekomunikasi.

Menanggapi hal ini, Sekjen Pusat Kajian Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung Ridwan Effendi menyebut kapasitas menetapkan penurunan biaya interkoneksi seharusnya bukan di tangan pemerintah.

Ridwan menyebut peran pemerintah sebagai regulator seharusnya untuk menyediakan formula perhitungan dan melakukan verifikasi serta validasi data dari operator, bukan menetapkan tarif interkoneksi. Validasi data yang dimaksud yakni berdasarkan biaya pembangunan (capital expenditure/capex), unsur risiko, quality of service dan biaya operasional masing-masing operator.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Perbedaan tarif interkoneksi antar operator ini sebenarnya akibat dari operator yang tidak memenuhi komitmen untuk melakukan pembangunan meski lisensi sudah didapat. Secara natural tentu yang banyak membangun akan punya biaya interkoneksi lebih tinggi dibanding yang sedikit membangun," imbuhnya.


Menurutnya, rencana pemerintah untuk memberlakukan tarif interkoneksi secara simetris (disamaratakan) dianggap tidak adil. Langkah pemerintah untuk memberlakukan tarif interkoneksi sebesar Rp 204, atau turun 26 persen baru bisa dianggap adil jika sudah ada keseragaman cakupan layanan dalam kurun waktu yang telah disepakati saat operator mendapatkan lisensi.

"Yang ada saat ini operator tebang pilih dalam melakukan pembangunan. Meski sudah mendapatkan lisensi sejak tahun 90'an, tetapi pembangunan baru dilakukan pada tahun 2000-an." tukasnya.


Mantan komisioner BRTI ini juga menyebut jika salah satu faktor utama operator yang tidak memenuhi komitmen yakni daerah yang hendak dibangun masuk dalam kategori kurang menguntungkan secara bisnis. Sementara operator hanya mau membangun di daerah yang high dan medium profitability.

Dibandingkan sibuk mengatur besaran tarif interkoneksi, pemerintah dituntut untuk lebih tegas menetapkan aturan pembangunan jaringan. Berkaca pada Eropa, operator yang diketahui menunda pembangunan akan mendapatkan penalti, sehingga akses komunikasi bisa dinikmati secara merata dan tarif interkoneksi secara simetris pun bisa diberlakukan. (evn/adt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER