Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) Damar Juniarto mengaku sangat kecewa terhadap pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Informatika (ITE), Kamis (27/10). Damar menyayangkan keputusan tersebut justru diambil di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Kecewa saya," ujar Damar kepada
CNNIndonesia.com melalui pesan WhatsApp. "Jokowi adalah presiden yang punya visi ke depan karena memperhatikan dunia digital. Namun reformasi hukum UU ITE ini masih minimalis."
Ia merasa revisi UU ITE yang terbit hari ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia di ranah digital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akibatnya ini bisa jadi ganjalan dalam pelaksanaan demokrasi ke depan dengan lebih banyak orang dipenjarakan karena ekspresinya diberangus dengan alasan pencemaran nama, penodaan agama, dan pengancaman," lanjut Damar.
DPR akhirnya mengesahkan pengajuan revisi UU ITE oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara setelah molor sejak 2015 lalu.
Menurut Rudiantara, terdapat 7 poin perubahan mendasar yang diklaim akan menyelesaikan masalah seperti melindungi warga tak bersalah yang kerap jadi korban pasal karet pencemaran nama baik.
Pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE yang menjadi salah satu sumber perdebatan lantaran dianggap multitafsir pada istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik."
Penurunan ancaman pidana pencemaran nama baik dari 6 tahun ke 4 tahun dan denda dari maskimal Rp1 miliar jadi Rp750 juta yang tertuang di hasil akhir revisi dianggap tak menguraikan masalah kejelasan jenis aktivitas internet yang salah di mata hukum.
"Dengan revisi ini tidak ada multitafsir karena tuntutan hukum dari maksimal 6 tahun jadi tidak bisa ditangkap baru ditanya karena semuanya harus ada proses," dalih Rudiantara yang ditemui usai rapat paripurna dengan DPR RI siang tadi.
Sebelumnya LBH Pers bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah melayangkan kecamannya apabila revisi ini disahkan oleh DPR RI. Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komaruddin menilai revisi yang ada dihasilkan tak memecahkan inti dari permasalahan UU ITE terkait kebebasan berekspresi.
"Kalau cuma sebatas itu (revisi pasal 27 ayat 3), ini sama saja duplikasi aturan pencemaran nama baik yang ada di KUHP. Bedanya dengan KUHP, revisi UU ITE cuma mediumnya saja," tutur Asep. Ia menambahkan bahwa LBH Pers mencatat ada 6 kasus pemidanaan terjadi tiap bulan selama tahun 2016.
Pemerintah sebenarnya telah menyampaikan Pendapat Akhir Presiden secara resmi sejak 21 Desember 2015 melalui Surat No.R-79/PRes/12/2015. Namun pemerintah baru memperoleh tanda tangan persetujuan DPR setelah satu tahun lewat.
(hnf/tyo)