Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah menuai kontroversi karena 'tak sengaja' menyensor salah satu foto ikonik peristiwa sejarah, raksasa jejaring sosial Facebook berjanji akan mengendurkan standar kebijakan konten yang diunggah para pengguna.
Foto sejarah yang mengabadikan momen pilu seorang gadis cilik "Napalm Girl" berjalan tanpa busana saat Perang Vietnam memang sangat ikonik.
Dikenal dengan sebutan
The Terror of War, foto sejarah itu beberapa waktu lalu menjadi target sensor Facebook. Sontak aksi ini langsung mendapat kritik pedas dari berbagai kalangan, tak terkecuali 70 kelompok aktivis HAM yang menuntut Facebook untuk merevisi kebijakan sensornya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Facebook, berita tak menyebar luas, tapi justru dihancurkan," begitu bunyi penggalan isi surat yang ditandatangani oleh 70 kelompok jurnalis dan penggiat HAM beberapa waktu lalu.
Sebagai tanggapan dari banyaknya protes, Patrick Walker selaku Direktur Kemitraan Media Facebook untuk Eropa, Timur Tengah, dan Afrika pada Senin (31/10) mengatakan perusahaan sedang menggodok kriteria baru kebijakan sensor konten.
"Kami telah membuat sejumlah perubahan kebijakan setelah foto
The Terror of War. Kami sudah meningkatkan proses eskalasi untuk memastikan gambar dan kisah kontroversial bisa diketahui lebih cepat," ucap Walker.
Berdasarkan laporan kantor berita
Reuters, ada lima jajaran eksekutif senior Facebook termasuk COO Sheryl Sandberg yang terlibat untuk merumuskan mengenai konten kontroversial yang bisa diakses pengguna Facebook.
Sekadar diketahui, tak lama setelah Facebook menyingkirkan foto "Napalm Girl", sejumlah pihak dari kalangan jurnalis dan penggiat HAM telah meminta Facebook menghentikan aksi sensor sepihak yang mereka lakukan beberapa kali, termasuk pemblokiran akun milik dua jurnalis Palestina. Mereka menuduh kebijakan Facebook terlalu mengakomodasi kepentingan pemerintah.
Menurut mereka, Facebook punya kewajiban melindungi suara masyarakat yang ingin mendokumentasikan serta menyebarkan ketidakadilan yang mereka terima.
Kumpulan eksekutif itu awalnya berdalih keputusan sensor sebelumnya dilakukan karena mereka tak bisa meloloskan konten berunsur pornografi karena tak semua negara menerima hal tersebut.
"Facebook ingin membatasi perdebatan ini hanya mengenai pornografi. Tapi ini bukan pertanyaan yang saya ajukan," ucap Espen Egil Hansen selaku pempin redaksi surat kabar Norwegia
Aftenposten yang pertama kali mengkritik keras keputusan sensor itu.
Kritik keras juga berasal dari Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg yang pada September lalu bersuara keras terkait sensor foto
The Terror of War.
(hnf/tyo)