ANALISIS

'Kekalahan' Media Sosial dan Kemenangan Donald Trump

Ervina Anggraini | CNN Indonesia
Jumat, 11 Nov 2016 17:12 WIB
Komparasi sentimen positif terhadap Trump dibanding Clinton pada masa jelang hari pemilihan suara yakni 58 persen dan 48 persen.
Kandidat Presiden Hillary Clinton dan Presiden Terpilih Donald Trump. (Foto: CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kemenangan Donald Trump pada pemilihan Presiden AS mengundang pro dan kontra, mengingat hasilnya jauh berbeda dari sejumlah jajak pendapat yang kerap mengunggulkan calon dari Partai Demokrat Hillary Clinton.

Bukan rahasia umum bahwa di media sosial, Trump sering di-bully karena ucapan kontroversinya. Beberapa kali netizen pun sering mencibir dia karena sering kalah berdebat dari Clinton.

Namun fakta mengejutkan ini disebut oleh Phil Ross, analis media sosial Socialbakers bahwa media sosial tidak bisa dijadikan tolak ukur utama, mengingat hal itu tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya di lapangan untuk lanskap pra-pemilu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami memang memantau aktivitas media sosial selama proses kampanya dan topik apa saja yang diperbincangkan melalui saluran media sosial. Faktanya semua yang diperbincangkan di sosial media tidak mewakili situasi sebenarnya karena banyak pemilih yang cenderung bungkam di media sosial," ungkap Ross seperti dilansir Techcrunch.


Selama periode akhir jelang pemilihan suara, pendukung Trump diketahui mulai berani 'buka suara' di media sosial. Data statistik menunjukkan keterlibatan media sosial mampu melampaui ekspektasi awal banyak orang.

Sementara itu, lembaga analis lain SimplyMeasured juga mencatat sentimen positif terhadap Donald Trump di media sosial cenderung naik jelang hari pemilihan.

The Wall Street Journal mengutip hasil analisis 4C Insight menyebut dukungan terhadap Trump melaui layanan Facebook dan Twitter mencapai puncaknya sejak awal Oktober hingga 7 November. Komparasi sentimen positif terhadap Trump dibanding Clinton pada masa itu yakni 58 persen dan 48 persen.

Lembaga riset Spredfast justu melihat adanya tanda-tanda yang berbeda pada Hari Pemilu dengan prediksi yang telah mereka buat. Spredfast menggarisbawahi adanya sejumlah pendukung Trump yang memilih bungkam di ranah media sosial.

Senada dengan Phill Ross, Chris Kens dari Spredfast mengatakan ada berbagai faktor yang saling bertolak belakang terkait dengan persaingan Trump dan Clinton di ranah media sosial. Meski kerap diunggulkan, nyatanya dalam hasil perhitungan cepat Trump justru berhasil mempecundangi Clinton.


Karen North, Kepala Profesor Program Master Media Sosial di University of Southern California mengatakan perbedaan hasil perhitungan cepat dengan jajak pendapat politik yang ramai di jagat maya merupakan suatu kejutan yang tidak mengejutkan, karena memicu pertanyaan besar terkait demografi responden.

Menurutnya, sosial media yang mewakili beragam latar belakang usia, ras, gender, status sosial ekonomi, sebaiknya hanya digunakan untuk memprediksi tingkah laku pemilih. Hal itu merupakan hal-hal lazim yang kerap dibagikan ke banyak orang.

Komentar kontroversial Trump mengenai perempuan dan Islam membuat pendukungnya enggan mengakui secara terang-terangan dukungan di ranah media sosial. Hal itu disebut North terlalu berisiko untuk kehidupan sosial mereka dan menghindari kritik.

"Kebanyakan orang memlih untuk berada di tempat yang bisa membuat mereka nyaman mengekspresikan diri, sementara dalam pemilihan presiden kebanyakan tidak," kata North seperti dikutip CNet. (evn)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER