Kegalauan Twitter, 'Singkirkan' Trump atau Biarkan Saja

CNN Indonesia
Minggu, 15 Jan 2017 08:25 WIB
Tim internal Twitter tengah galau. Sebagian berpikir untuk membekukan akun Twitter sang presiden terpilih AS atau membiarkannya saja.
Halaman Utama Koran Meksiko Mengenai Trump (Reuters/Jose Luis Gonzalez)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada yang lebih dilematik bagi Twitter selain sosok bernama Donald Trump. Tim internal Twitter kini tengah berdebat mengenai dua posisi sang presiden Amerika Serikat terpilih: pemberi berkah atau pria bermulut kotor yang semena-mena.

Kini setelah hasil pemilihan presiden yang berujung pada kemenangan Trump, tubuh internal Twitter mulai berpikir bahwa merekalah yang berperan penting dalam mempromosikan popularitas Trump lewat platform mereka.

Jelang pemilihan presiden AS, karyawan di Twitter awalnya berpikir semua ucapan Trump yang didominasi hinaan ke lawan politiknya hanya sebagai hiburan belaka, dengan asumsi Hillary Clinton akan melenggang mulus ke puncak kekuasaan AS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Iklim politik saat itu masih tak menentu untuk Trump dan dia benar-benar lelucon," ujar seorang mantan karyawan Twitter di San Francisco kepada The Verge, Kamis (12/1).

Namun ketika hasil pengumuman keluar, sang karyawan melihat linimasa Twitter dan sadar ada kontribusi tak langsung yang ia dan perusahaannya sumbangkan dalam kemenangan Trump.

Hal tersebut memicu olokan dari investor perusahaan teknologi kawakan Peter Thiel dalam sebuah wawancara kepada The New York Times.

"Yang gila adalah, di tempat seperti Twitter, sepanjang tahun lalu mereka bekerja untuk Trump dengan pikiran ingin memenangkan Sanders," ejek Thiel.

Perasaan bersalah perusahaan mikroblog ini makin kuat. Masih dari laporan The Verge, internal Twitter mulai mempertimbangkan menutup akun Trump untuk mencegah konten-konten buruk dari mulutnya tak bisa dikonsumsi khalayak.

Ide tersebut ternyata tidak lantas diterima. Sebagian karyawan Twitter lain merasa mustahil untuk membekukan akun @realDonaldTrump atas berbagai alasan. Ada yang berpikir Twitter tak mungkin memblokir orang paling berkuasa di dunia. Alasan lain meyebut lebih baik tahu sesuatu seburuk apa pun pesannya daripada tak tahu sama sekali.

"Menutup akunnya jelas jadi bahan perbincangan, tapi itu karena kita memang harus membicarakannya saja. Harus ada perbuatan yang sangat tercela untuk memblokirnya, dan saya sangat ragu Trump sebodoh itu," ujar salah seorang karyawan Twitter lain yang tak mau disebutkan namanya.

Keengganan Twitter untuk bertindak sesuai kode etik mereka justru memancing serangan kritik dari mantan karyawan mereka yang vokal.

"Twitter membantu menyebarkan kepalsuan dan kebohongan dan menolak melakukan apa pun soal Nazi gaya baru," kata Michael Farrell, yang meninggalkan Twitter pada 2015 lalu.

Tanda-tanda kemunafikan Twitter yang sempat menegaskan kepada The Intercept untuk tidak bekerja sama dengan kebijakan pemerintah Trump yang diskriminatif juga mulai terendus. Dan Scavino selaku direktur media sosial untuk Trump, baru-baru ini bertemu dengan perwakilan Twitter untuk membahas sesuatu.

Mikroblog pimpinan Jack Dorsey itu menyebut situasi saat ini rumit. Di satu sisi, kicauan Trump telah berubah jadi pusat panggung politik dunia dan Twitter menjadi jendela kecil eksklusif untuk mengenal pikiran sang presiden terpilih.

Namun di saat bersamaan, Twitter turut menjadi corong suara Trump yang merontokkan saham sejumlah perusahaan, bersitegang dengan negara lain, dan memfasilitasi diskriminasi rasial oleh kulit putih AS.

Twitter yang bangga dengan pencapaian mereka sebagai salah satu alat revousi Arabian Spring dan gerakan perlawanan lain kini menghadapi situasi politik yang sulit di tanah kelahirannya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER