Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah sudah melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek, atau payung hukum taksi online.
Revisi tersebut berdasarkan masukan dari beberapa
stakeholder, asosiasi perusahaan transportasi online dan Organisasi Pengusaha Angkitan Darat (Organda).
"Jadi begini ini tahap pertama udah dapat masukan. Makanya kita mau ada uji publik kedua, baru kami akan laksanakan," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Pudji Hartanto di kantornya, Jakarta Pusat.
Uji publik tahap kedua, kata dia, baru akan dijadwalkan setelah dua minggu paska uji publik hari ini. Sedangkan penerapannya, pemerintah berjanji akan mulai dilakukan dua sampai tiga hari setelah uji publik tahap kedua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pokoknya tidak akan lama-lama, dua atau tiga hari (setelah uji publik kedua). Bulan ini harus udah selesai," kata dia.
Sedikitnya, ada tiga poin penting yang dimasukan oleh pemerintah di dalam PM 32 berdasarkan uji publik pertama ini. Yang mana, pada muatan sebelumnya di peraturan tersebut tidak berisi mengenai tarif, kuota hingga Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Ia berujar, pemerintah tidak akan ikut serta dalam tarif yang akan diterapkan kepada taksi online. Tarif akan diatur oleh masing-masing Pemerintah Daerah (Pemda), dalam hal ini ialah Gubernur.
"(Penetapan tarif) bukan pemerintah pusat, Ditjen Perhubungan Darat yang mengatur tapi diserhkan pada Pemda dalam hal ini Gubernur yang bisa mengetehaui pangsa pasar. Pihak taksi online dan Organda bisa pahami itu," kata dia.
Mengenai kuota, pemerintah akan membatasi volume armada tiap penyedia jasa taksi online yang beroperasi. Hal tersebut, selain untuk menekan jumlah kendaraan yang berada di jalan raya, juga sebagai aturan main bagi perusahaan transportasi online untuk tetap dapat bersaing.
Misalnya, akibat terlalu banyaknya armada taksi online akan membuat berkurangnya pendapatan, dari tiap pengemudi.
"Kami pertimbangkan hal itu sehingga perlu ada pengaturan. Ini juga kami serahkan pada Pemda, supaya ada kenyaman di situ," kata dia.
Terakhir, Pudji menekankan, bahwa sesuai dengan peraturan lalu lintas bahwa STNK harus memiliki badan hukum perusahaan transportasi online, atau kooperasi badan hukum yang bisa mempertanggungjawabkan usaha dari kendaraan tersebut.
Contohnya, seperti Metromini maupun Kopaja yang dulunya surat kendaraan atas nama perorangan, kini telah berbadan hukum koperasi.
"Ini jadi bahan untuk bagaimana STNK (kendaraan transportasi online) bisa dikategorikan menjadi balik nama badan hukum. Lalu udah dilakukan migrasi antara milik perorangan. Tujuan adalah supaya ada tanggungjawab apabila melakukan pelanggaran, seperti kecelakaan," ujar Pudji.