Jakarta, CNN Indonesia -- Facebook kembali diterpa berita tak sedap mengenai sistem pengiklanan mereka. Eksekutif Facebook Australia dilaporkan telah menggunakan algoritma untuk mengumpulkan data pengguna anak-anak dan remaja yang secara mental sedang tidak stabil. Menanggapi laporan ini, Facebook telah menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan tengah melakukan investigasi terkait hal ini.
Pekan lalu,
The Australian mengungkap dokumen 23 halaman. Dokumen ini diklasifikasikan sebagai "Rahasia: Hanya untuk Internal". Dokumen ini menyebutkan bahwa Facebook mengizinkan pengiklan memanfaatkan algoritma untuk mengumpulkan data dari pengguna yang masih duduk di bangku SMA, SMP, dan anak-anak. Data dikumpulkan dari 6,4 juta anak di Australia serta Selandia Baru. Data ini berupa
postingan gambar, tulisan, maupun reaksi.
Lewat algoritma itu, Facebook diduga mengumpulkan data emosional pengguna. Pengguna dengan kondisi emosional "tidak berharga" atau "tidak aman" menjadi sasarannya. Sebab, mereka adalah sasaran empuk untuk menerima pesan dari pengiklan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun dalam
postingannya, Facebook menepis bahwa data tersebut dikumpulkan untuk tujuan iklan. "Facebook tidak menawarkan alat untuk menarget orang berdasarkan keadaan emosional mereka. Analisis yang dikerjakan oleh periset Australia dimaksudkan untuk membantu pemasar memahami bagaimana cara pengguna mengekspresikan perasaan mereka."
Penambangan data dari anak dibawah umur yang dilakukan Facebook ini bertentangan dengan aturan Pengiklanan & Komunikasi Pemasaran pada Anak di Australia. Sebab, aturan ini menyatakan bahwa anak dibawah usia 14 tahun harus "mendapatkan izin dari orang tua mereka sebelum terlibat dalam aktivitas yang hasilnya berhubungan dengan pengumpulan atau pengungkapan informasi pribadi".
Informasi yang dimaksud adalah informasi yang secara jelas menunjukkan jati diri seorang anak atau informasi lain yang mungkin mengarah pada jati diri mereka.
Ini bukan kali pertama Facebook melakukan pelanggaran kode etik. Sebelumnya, investigasi ProPublica pada 2016 menuduh Facebook telah melakukan diskriminasi terhadap ras penggunanya karena Facebook membuat tag "afinitas etnis".