Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai jejaring sosial, Facebook bertekad menjadi musuh bagi para teroris. Serangan di London Bridge akhir pekan kemarin semakin meneguhkan tekad Facebook ini.
"Kami ingin Facebook jadi lingkungan yang tak bersahabat bagi teroris," ucap Direktur Kebijakan Facebook Simon Milner, seperti dilansir dari
CNN, Minggu (5/6).
Sebagai bentuk pencegahan aksi teror, Milner berjanji Facebook akan menyampaikan tanda bahaya kepada pihak berwenang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kami tahu situasi darurat yang mengancam keselamatan seseorang, kami sampaikan ke penegak hukum," imbuh Milner.
Ia mengaku pihaknya tengah berupaya dengan agresif menghadapi konten teroris di platform mereka. Hal ini merupakan reaksi Facebook menanggapi aksi teroris di London yang menewaskan tujuh orang.
Tekanan pemerintahNamun Facebook tidak sepenuhnya bertindak atas inisiatif sendiri. Mereka juga mendapat tekanan dari pemerintah untuk memperketat pengawasan konten berbau agitasi untuk kepentingan terorisme.
Perdana Menteri Inggris Theresa May misalnya, ia memutuskan memperketat aturan penggunaan internet. Keputusan itu diambil untuk memisahkan teroris dari perlengkapan digital. Sebab, mereka seringkali menggunakan teknologi ini untuk berkomunikasi maupun merencanakan serangan.
May juga mendorong agar internet dan perusahaan internet besar tidak menjadi penyebaran ideologi ekstrimis. "Kita butuh untuk bekerjasama antar pemerintah demokratis untuk mencapai kesepakatan internasional untuk meregulasi dunia maya. Guna menangkal penyebaran paham ekstrim dan rencana terorisme," terangnya seperti dikutip
The Register.
Untuk itu, May berharap perusahaan internet untuk mengembangkan perangkat untuk mengidentifikasi dan menyingkirkan material berbahaya tersebut secara otomatis. Juga diharapkan pengguna bisa melaporkan konten berbahaya ini kepada pihak otoritas dan mengeblok pengguna yang menyebarkannya.
May juga mengimbau pemegang regulasi internasional untuk merujuk pada rencana Komisi Eropa untuk memperbolehkan akses kepada data yang tersimpan di cloud pada aplikasi yang menggunakan enkripsi.
"Kami tak boleh membiarkan ada ruang untuk ideologi seperti ini berkembang biak, namun itu jadi tanggung jawab internet dan perusahaan besar yang menjual layanan berbasis internet," ucap May.
KontradiksiGoogle, Apple, Microsoft, Twitter, dan Facebook, kerap jadi sorotan setelah aksi teror meletus. Pasalnya teknologi enkripsi yang mereka terapkan malah jadi pelindung para teroris. Hal ini juga menghalangi penegak hukum meringkus aksi teroris.
Contoh paling dekat adalah perselisihan Apple dengan FBI dalam kasus penembakan massal di San Bernardino, California, AS. Perselisihan ini terjadi pada Desember 2015 lalu.
Saat itu Apple menolak permintaan FBI membuka enkripsi iPhone pelaku. Tak terima, FBI membawa perkara itu ke pengadilan. Namun, semua berakhir ketika FBI berhasil membobol iPhone pelaku dengan menyewa pihak ketiga.