Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi
E-Commerce Indonesia (idEA) menilai masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam peta jalan
e-commerce yang telah disahkan pemerintah. Hal ini disampaikan Aulia E. Marinto, Ketua Umum idEA dalam diskusi media mengenai peta jalan
e-commerce di Jakarta.
"Ini rangka pertama yang harus kita
revisit lagi, nanti kita akan balik lagi. Tapi langkah ini kalau diurus sudah bagus sekali, daripada kita bilang ini belum ini belum. Karena memang ada prioritas-prioritas," katanya usai konferensi media di Hotel Morrisey, Jakarta, Rabu (16/8) .
Meski demikian, ia menuturkan bahwa pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang telah meresmikan Peraturan Presiden No 74/2017 itu. Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik telah disahkan 3 Agustus lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dianggap salah satu dukungan positif pemerintah untuk perkembangan
e-commerce di Indonesia. Sebab, menurutnya beberapa prioritas telah difasilitasi dalam peta jalan itu. Dalam peta jalan tersebut, aturan
e-commerce di Indonesia ini akan dibagi dalam 3 segmen.
Ketiga segmen itu antara lain Usaha Kecil Menengah (UKM), perusahaan
e-commerce yang established, dan
startup (perusahaan rintisan) yang bergerak di bidang teknologi.
Cakupan luas
Lebih lanjut dia menyatakan bahwa industri
e-commerce tanah air butuh waktu untuk menyempurnakan peta jalan ini. Meski demikian, peta jalan ini menurutnya sudah mencakup wilayah dan sektor yang cukup luas.
"Jangan lupa apa yang kita bangun ini adalah hal yang baru. Sama sekali yang lima tahun
nggak ada dan dia lintas sektor manapun. Berada di seluruh Sabang sampai Merauke. Maka tantangannya tentu harus membangunnya secara pelan-pelan. Perlu punya visi yang sekarang diterapkan, termasuk visi menjadi digital ekonomi terkuat di Asia Tenggara," sambungnya.
Pemerintah punya target ambisius terkait pencapaian ekonomi digital. Nilai transaksi
e-commerce dalam negeri ditargetkan mencapai US$ 130 milyar (Rp 1,7 quadriliun) pada 2020. Padahal berdasarkan data IDC, nilai transaksi
e-commerce Indonesia pada 2016 baru mencapai US$651,7 juta (sekitar Rp8,7 triliun).
Ini berarti target yang dipasang pemerintah nyaris 1000 kali lipat lebih tinggi.
Potensi besar
Berdasarkan data APJI 2016, jumlah pengguna internet Indonesia sebesar 132,7 juta dari total 256,2 juta penduduk Indonesia. Ini berarti baru 51 persen dari total penduduk Indonesia yang sudah terhubung dengan internet. Selain itu, 65 persen dari total pengguna internet itu ada di pulau Jawa. Sehingga masih terbentang potensi pengguna internet yang lebih besar di wilayah lain di Indonesia.
"Potensi fundamental Indonesia untuk menuju digital ekonomi sangat besar. Orangnya mau berbelanja daring, infrastruktur dibangun, perangkat tersedia. Akses internet ada di mana-mana, orang terhubung. Itu membuat fondasi kita bagus. Populasi kita besar. Kalau nggak ada itu mana ada orang mau masuk ke Indonesia," terangnya.
Selain itu, Aulia juga menyebutkan bahwa Indonesia juga kuat di sektor
mobile e-commerce. Bahkan menurutnya,
m-commerce Indonesia paling tinggi dibanding negara lain di kawasan Asia Pasifik.
Tak pengaruhi ekonomiKendati demikian, kontribusi
e-commerce disebut Aulia yang juga CEO Blanja.com dinilai belum besar saat hingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara. Tahun lalu, total transaksi e-commerce disebutkan hanya 2,2 persen dari total transaksi ritel Indonesia.
"Kita besar, tapi untuk memengaruhi inflasi itu belum. Jangan
shifting bahasanya," jelas Aulia.
Selain nilai transaksi yang masih kecil, Aulia juga mengakui ada perlambatan pertumbuhan bisnis
e-commerce dalam beberapa periode terakhir. Perlambatan ini terjadi karena belanja daring hanya jadi saluran jualan tambahan untuk penjualan
offline dan ritel
. Sehingga, barang yang dijual
online bukanlah stok tersendiri, "bukan tiba-tiba nongol lagi," pungkasnya.
Lantaran sebagai perpanjangan dari jualan offline inilah, IDC sempat menyebutkan ada kemungkinan terjadi penghitungan ganda atas perdagangan
e-commerce Indonesia.