Jakarta, CNN Indonesia -- Perlombaan produksi senjata otonom jadi kekhawatiran pakar robot dan kecerdasan buatan. Sebanyak 116 praktisi dan pakar teknologi membuat petisi yang bertujuan mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar produksi 'senjata cerdas' dilarang.
Elon Musk, pendiri SpaceX dan Tesla, adalah salah satu dari kelompok praktisi yang mendukung pelarangan senjata tersebut. Musk dan 115 orang lainnya menandatangani surat terbuka kepada PBB yang secara resmi meminta untuk mencegah peperangan yang diakibatkan oleh teknologi pembunuh itu.
"Senjata otonom yang mematikan ini bisa memicu revolusi ketiga dalam peperangan," ujar surat kepada PBB itu seperti dikutip
The Telegraph.
Menurut para ilmuwan tadi, pengembangan senjata dengan kecerdasan buatan bisa begitu cepat. Ketika semuanya terlambat, peperangan manusia dinilai akan memasuki era baru dengan skala yang lebih besar dan lebih cepat dari yang pernah dialami manusia sepanjang sejarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Revolusi dalam peperangan sebelumnya terjadi ketika bubuk mesiu ditemukan di China pada abad ke-9 lalu. Penemuan nuklir di pertengahan awal abad ke-20 kemudian memicu revolusi kedua dalam sejarah peperangan umat manusia.
Adapun mereka yang tergabung dalam petisi ini termasuk nama-nama besar di bidang teknologi. Selain Musk, ada Mustafa Suleyman, salah satu pendiri Google DeepMind. Lalu ada fisikawan jenius Stephen Hawk yang juga ikut menandatangani petisi.
Hawking dan 1.000 pakar teknologi lain bahkan sudah memperingatkan PBB sejak 2015 lalu soal bahaya mesin tempur ini. Dalam petisinya, mereka bahkan menyebut senjata pintar ini sebagai robot pembunuh.
"Kita tak boleh menunggu lama. Saat kotak Pandor ini terbuka, akan sulit untuk ditutup kembali," salah satu kalimat di petisi tersebut berbunyi.
Hal yang paling dikhawatirkan adalah senjata semacam ini bisa disalahgunakan oleh siapa saja seperti diktator, teroris, atau kelompok militan lain yang mengancam perdamaian.
Petisi ini dialamatkan kepada PBB karena badan dunia itu dijadwalkan membahas keberadaan senjata pintar, kemarin (21/8). Namun pertemuan itu batal dan ditunda hingga November mendatang.