Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivitas pergerakan dan spesifikasi magma sejauh ini menjadi faktor utama terjadinya erupsi gunung berapi. Namun disamping dua faktor itu, ternyata perubahan iklim Bumi juga turut mempercepat aktivitas letusan.
Penelitian terbaru oleh tim peneliti dari Universitas Leeds terhadap gunung berapi di Islandia menunjukkan gletser yang meleleh mempercepat proses letusan gunung berapi. Hal itu disebabkan es yang meleleh mengubah jumlah tekanan di permukaan.
Padahal sebelumnya, hanya sedikit aktivitas yang terdapat pada gunung berapi ketika kondisi lapisan gletser masih lebih luas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Di daerah yang aktif secara vulkanik, perubahan iklim menjadi salah satu penyebab es mencair. Hasilnya, letusan gunung berapi terjadi lebih sering di Islandia,” jelas Dr Graeme Swindles dari
School of Geography di Leeds.
Peneliti dalam studi tersebut seperti diberitakan
Science Daily, mengawetkan abu vulkanik dari gunung berapi di Islandia dalam endapan gambut dan sedimen danau. Hasil identifikasi menunjukkan adanya penurunan aktivitas vulkanik setelah tumbuhnya gletser akibat penurunan suhu global, periode antara 5.500 dan 4.500 tahun yang lalu.
Jurnal Geologi mencatat veda waktu sekitar 600 tahun antara perubahan iklim yang dulu terjadi dengan penurunan jumlah letusan gunung berapi. Besar kemungkinan kondisi temperatur bumi yang semakin hangat dan waktu jeda yang sama dengan waktu jeda yang dibutuhkan bagi lapisan gletser untuk kembali meluas.
Tim peneliti mencatat saat ini sistem vulkanik Islandia tengah mengalami pemulihan masa
Little Ice Age (periode saat suhu bumi lebih dingin) yang diperkirakan terjadi antara sekitar tahun 1500 hingga 1850. Berakhirnya masa
Little Ice Age, bisa terlihat droses pemanasan alami bumi serta pemanasan global yang disebabkan oleh manusia menjadi penyebab gletser di Islandia kembali meleleh.
“Salah satu kesulitan dalam memperkirakan waktu jeda disebabkan oleh pemanasan global, namun berdasarkan catatan historis, di masa depan akan ada lebih banyak erupsi yang terjadi di Islandia,” tegas Dr Swindles.
Dr Swindles juga menyatakan pentingnya memperkirakan langkah yang diambil saat ini yang berdampak bagi lingkungan untuk generasi selanjutnya.
“Efek jangka panjang yang dilakukan manusia terhadap lingkungan membuat konferensi bertema serupa seperti COP
(Conference of the Parties) menjadi penting. Penting untuk memahami bahwa tindakan kita hari ini yang efeknya belum kita sepenuhnya sadari sesungguhnya dapat memberi dampak bagi generasi selanjutnya, seperti awan abu yang lebih banyak beredar di Eropa, partikel yang lebih banyak pada partikel serta masalah mengenai penerbangan.”
Kompleksnya interaksi antara perpecahan pada batas lempeng kontinental, pengembangan gas bawah tanah dan magma serta tekanan pada permukaan gunung berapi dari gletser dan es mengendalikan sistem vulkanisme di Islandia. Perubahan tekanan permukaan dapat mengubah tekanan pada ruang dangkal tempat magma terbentuk.
Salah satu tim peneliti, Dr Ivan Savov, dari
School of Earth & Environment di Leeds University menjelaskan hubungan antara melelehnya es yang menurutnya tidak mengubah tekanan pada permukaan bumi.
“Fenomena itu dapat menyebabkan jumlah bagian yang meleleh bertambah, yang otomatis mempengaruhi arus magma dan jumlah magma yang dapat ditahan kerak bumi. Perubahan kecil pada tekanan di permukaan dapat memberi dampak yang signifikan pada erupsi di gunung berapi,” jelas Dr Ivan seperti dilaporkan
Phsy.
(evn/sat)