Supermoon, Dianggap sebagai Fenomena yang Hiperbolis

Eka Santhika | CNN Indonesia
Selasa, 30 Jan 2018 07:45 WIB
Fenomena supermoon yang belakangan sering diberitakan seringkali berbuah kecewa karena ternyata bulan tak terlihat semegah yang dibicarakan.
Supermoon belakangan dipertanyakan lantaran dianggap sebagai fenomena hiperbolis. (dok. REUTERS/Darrin Zammit Lupi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Fenomena Supermoon dinilai oleh sebagian pihak sebagai suatu kejadian yang hiperbolis. Sebab, istilah Supermoon dianggap tidak benar-benar super.

Banyak pengamat amatir yang mungkin akan kecewa ketika melihat supermoon karena mereka tak melihat banyak perbedaan dari bulan purnama biasanya. 

Ada tiga kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan fase supermoon, yaitu berada di titik terdekat ke bumi (perigee), intensitas cahaya, dan dari segi ukuran objek. Tapi ketiga kriteria ini dianggap kurang relevan. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasalnya, hampir tiap fase rotasi, bulan selalu melewati posisi perigee ini. Sehingga, jika diartikan secara harafiah, maka bulan berpotensi berada pada keadaan 'super' di setiap ia menyelesaikan rotasinya. Bahkan, bulan bisa berada di titik perigee dua kali dalam satu bulan kalender.

Hal ini terbukti dari fenomena Supermoon yang muncul pada 3 Desember 2017 lalu dan kembali hadir sebulan setelahnya dalam dua fase di dua waktu berbeda, yaitu pada tanggal 2 Januari dan 30 serta 31 Januari 2018.

Perbedaan tak kasat mata

Dari segi ukuran objek, Supermoon diklaim berukuran lebih besar dari biasanya. Bahkan, Supermoon dalam fase pertama di awal tahun 2018 ini disebut sebagai bulan purnama terbesar di tahun 2018 dan menghasilkan perbedaan ukuran sebesar 7,3 persen jika dibandingkan dengan posisi bulan pada jarak rata-ratanya dari Bumi.

Namun, perbesaran 7,3 persen tidak akan terlihat signifikan bagi mata pengamat yang melihat dengan mata telanjang di bumi. Sehingga, kebenaran hipotesis tersebut sulit untuk dikonfirmasi. Belum lagi ketika seseorang melihat bulan di dekat cakrawala, ilusi bulan ikut memainkan penglihatan sehingga objek yang dilihat berpotensi menjadi lebih besar.

Ukuran lain yang sering dijadikan karakteristik untuk menilai Supermoon adalah tingkat cahaya bulan yang naik 30 persen dibanding bulan purnama normal.

Tapi jika diterjemahkan, peningkatan level kecerahannya  hanya naik 0,1 atau 0,2. Perbedaan yang sulit ditangkap oleh mata manusia.

Sehingga, bisa jadi Supermoon diperkirakan akan menjadi fenomena yang normal terjadi, demikian disebutkan Space.

Di Indonesia, fenomena Supermoon yang hadir pada 30 dan 31 Januari 2018 akan menarik banyak perhatian karena kemunculannya akan diikuti oleh gerhana bulan total yang diperkirakan akan hadir dari awal malam hingga tengah malam.

Gerhana total yang dapat dilihat dari seluruh Indonesia ini akan berlangsung selama satu jam 16 menit dan menghasilkan Bulan yang berwarna merah.

(eks/sat)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER